Arsip Kategori: Pojok Seni

Kamulah Terang Dunia

Dalam gelap langit malan, cahaya bintang berkilau lebih terang. Dalam pengalaman hidup kelam, sinar batin manusia menawarkan terangnya. Sebab kita adalah anak-anak terang. Gelapnya kehidupan tidak dapat menghancurkan terang terkuat yang ada di semesta ini, yaitu terang dalam diri kita.

Bagikanlah terang itu, sekecil apapun. Karena kita tidak pernah tahu, pekatnya gelap kehidupan sesama yang membutuhkan terang kita.

Potret

Setelah makan malam, kuambil sepeda. Rute bersepeda malam ini: Jl. Cempaka Putih Timur, Jl. Ahmad Yani, Jl. Suprapto, RS Islam, masuk ke Jl. Cempaka Putih Raya dan kembali ke Wisma Cempaka.  Pasang masker, chek. Kunci rumah, chek. Hp di saku celana, chek. 

Jam di tagan menunjukkan pukul 20.33. Semua siap. Sepedapun mulai kukayuh.

 Sampai di pertigaan Jl. Cempaka Putih Timur, kubaca tulisan di atas papan tripleks: “Bukan Jalan Umum. Dibuka Jam 5 pagi dan ditutup Jam 5 Sore.” Pembatasan jalan sudah dibuat warga, jauh sebelum peraturan resmi dari pemerintah pusat dikeluarkan. It’s OK. Sepeda terus kukayuh.

Masuk Jl. Ahmad Yani. Terasa lebih sepi. Biasanya pada jam begini, jalanan masih diseliweri mobil dan motor yang melaju kencang, entah untuk pulang entah untuk tujuan lainnya. Tetapi malam ini, terasa lebih sepi. Sudah beberapa malam suasananya sesepi ini. Di atas trotoar yang belum lama diperlebar, barisan supir ojek online duduk lunglai di samping motor mereka yang berjejer resah. Kebanyakan sedang menatap benderang layar telpon genggam. 

Menanti orderan?

Memberi kabar keluarga di rumah akan kerja malam?

Sampai kapan?

Malam semakin larut. Sepeda terus kukayuh. 

Sebelum perempatan “Coca-cola”, kumembelok masuk ke Jl. Suprapto. Para buruh harian berhelm biru berjalan beriringan, keluar dari sebuah proyek pembangunan apartemen mewah. Tidak jauh dari pintu keluar proyek, ada halte yang terang-benderang. Kusaksikan dua, bukan, tiga anak muda menjinjing kotak-kotak putih. Kupelankan laju sepeda untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. 

Seorang dari mereka, anak putri, menghampiri gerobak yang diparkir di bawah terang lampu neon halte. Remaja putri itu berdiri di tepian gerobak. Setelah beberapa saat, dari dalam gerobak muncul seorang lelaki tua, menatap orang yang berdiri di hadapannya, untuk kemudian menerima dua kotak putih dari tangan sang remaja. Ketika kumelintasi mereka berdua, sayup kudengar si remaja putri berkata, “Buat makan malam ya pak…” Kedua anak muda lainnya tampak sedang mendatangi seorang bapak penjual kue klepon, agak jauh ke depan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Di sela suara mirip pluit yang keluar dari gerobak kue, diiringi asap beraroma sedap, kulihat pula kedua anak muda itu menyerahkan beberap kotak putih… makan malam kaum urban….

Adegan sederhana. Kusaksikan sambil lewat bersepeda. Tetapi, tatapan penuh sukacita si bapak tua pemilik gerobak dan senyum penjual kue klepon menyangkut di pilar-pilar relung batinku malam itu. 

Awas, jangan lupa membelok ke arah RS. Islam, kataku pada diriku sendiri.

Selepas RS Islam, jalanan jadi gelap. Warung-warung di atas trotoar sudah ditutup terpal plastik. Sayup terdengar suara seorang ibu bertanya, “Besok ada razia warung ya…” Kecemasan seorang ibu. 

Beberapa jalan kompleks ditutup portal. Tidak bisa dilewati. Ada pengumuman dipasang sebelum portal: “Maaf, Jalan Buntu. Hindari Covid 19.” Aku sudah tahu sebelumnya. Jadi, kuambil jalan memutar dan….. akhirnya masuk Jl. Cempaka Putih Raya. 

Terang. Banyak orang. Tidak seramai biasanya, tetapi masih banyak orang lalu-lalang. Banyak tanpa memakai masker. Sulur-sulur kepanikan akibat Covid 19 belum menjamah relung-relung kesadaran mereka. Bagaimana kepanikan seantero dunia dirasa, kalau malam ini orang masih mencari jawab untuk satu tanya: besok makan apa…. 

Hari makin malam. Sepeda terus kukayuh. 

Banyak tempat makan tutup lebih cepat dari biasanya. Seorang ibu menggendong bayinya. Di depannya, seorang putri kecil berjalan sambil menawarkan kertas tissue dagangannya. Dan sekali lagi, barisan supir ojek online duduk bercengkerama. Melewati malam, menabur impian.

Tak terasa, sepeda membawaku kembali ke Wisma Cempaka. Kubuka pintu gerbang dan pintu garasi. Kusandarkan sepeda. Kurasakan bagian belakang kaos yang kukenakan menempel di punggungku. Keringat. Harus mandi lagi. Jam menunjukkan pukul 21.02. 

Setengah jam perjalanan….  secuil malam….  seribu kisah…. selaut asa… sejumput doa:

Tuhan, temani mereka yang menabur harap pada malam yang semakin senyap.

 

Bumi Batavia, 8 April 2020, A night before Last Supper Celebration 

Matinya Seekor Kecoak

Ketika kau menghakimi orang lain, kau menghakimi dirimu sendiri…  

Kemarin malam, aku membunuh seekor kecoak. Saat itu pukul sebelas malam lewat sedikit. Suara gledek menembus kaca jendela dan melesat sampai ke kamar mandi. Ya, di luar sana, hujan deras sedang bercengkerama dengan kegelapan malam. Aku sendiri sedang di depan cermin, di kamar mandi, sedang bersiap menggosok gigi. Sementara pasta gigi kuoleskan ke atas bulu-bulu sikat gigiku, melesat keluar dari kolong lemari baju di sebrang kamar mandi satu wujud kecoklat-coklatan. Mulanya, mahluk itu merayap lurus ke arah kamar mandi yang terbuka. Tapi kemudian, tanpa mengurangi kecepatan, ia berbelok masuk ke bawah bibir pintu kamar mandi dan lenyap di dalam kegelapan antara pintu kamar mandi dan tembok koridor kamarku. Tingkah polah mahluk coklat itu menghentikan niatku menyikat gigi. Aku sudah curiga kalau mahluk yang barusan melintas tadi itu adalah kecoak. Tapi dari mana dia datang? Bukankah baru tadi siang kusapu dan kemudian kupel lantai kamarku dengan air hangat bercampur karbol aroma pohon pinus? 

Didorong rasa ingin tahu bercampur sedikit rasa jengkel, kuberanjak dari depan cermin wastafel dan melangkah keluar kamar mandi, ke koridor kamar. Cahaya lampu menyapu kegelapan area di balik pintu ketika perlahan kujauhkan pintu dari tembok koridor. Dan di sana, di ujung sana, di bawah terang lampu, di dekat engsel pintu, tampak seekor kecoak diam terpaku. Kecoak itu berukuran sedang, tidak begitu besar maupun kecil. Mungkin dia kecoak remaja batinku. Yang menarik perhatianku adalah sikap diam sang kecoak remaja: dia tidak bergerak, diam terpaku di sudut antara daun pintu kamar mandi dan tembok koridor. Kugerak-gerakkan pintu kamar mandi dengan bayangan dia akan paling tidak beringsut lebih ke pojok. Tetapi, gerakan pintupun tidak membuatnya berpindah posisi. Kucoba gerakan mengancam yang lebih nyata dengan menghentak-hentakkan kakiku sambil mendenguskan bunyi,”Huusss!” Namun, jangankan berpindah tempat, menggerakkan sungutnya pun tidak. Gila! Batinku. Masih remaja saja sudah tidak kenal takut, gimana kalau sudah jadi kecoak beneran nanti. 

Pada saat itulah kuteringat sepupu perempuanku yang begitu takut akan kecoak. Rasa takutnya akan kecoak begitu hebat sampai membuatnya menjerit histeris dan berlompatan demi menyaksikan seekor kecoak yang melantai di depannya. Meski sudah berusia lebih dari 20 tahun, sepupu perempuanku ini masih memelihara ketakutan yang sama. Pernah kutanya padanya, kenapa seekor kecoak bisa membuatnya menjerit histeris sejadi-jadinya. Dia pun menjawab, karena kecoak itu binatang kotor, menjijikkan. Kubalas, kalau begitu, kenapa mesti harus menjerit dan melompat ketakutan; hajar saja dia dengan sapu atau sandal atau semprotkan obat nyamuk biar mampus. Saudara sepupuku menjawab, begitu ketakutan dan begitu jijiknya dia sampai- sampai tidak bisa melakukan itu semua.

Memang, biasanya, kalau sepupuku ini berpapasan dengan seekor kecoak, dia akan menjerit dan memanggil entah mbaknya entah mamanya untuk membunuh mahluk menjijikkan dan jahanam itu. Kasus sepupu perempuanku, sejauh yang kutahu, adalah sebuah contoh yabg sangat bagus akan kekuatan perasaan yang muncul dari prasangka, praduga, prapikir atau segala hal yang diam di bawah sadar. Baginya, seekor kecoak mewakili dunia yang berbeda, dunia yang kotor, yang dapat menularkan kekotoran cukup dengan kehadirannya saja. Bisa jadi, dia membawa milyaran kuman, bakteri, virus, dan segala bibit penyakit yang bertengker di kedua sungut-sungutnya, di sekujur badannya, dan juga di deduri kecil yang menyelimuti seluruh kaki-kakinya. Begitu pernah ia ucapkan. Bayangan ini membuatnya lumpuh dan histeris di depan kehadiran seekor kecoak…

Ingatan akan sepupuku perempuan membuatku sedikit takut juga di hadapan kecoak remaja yang memojok di bawah tatapanku. Bagaimana kalau dia membawa milyaran bakteri di sekujur badannya? Bagaimana kalau dia tiba-tiba terbang ke arahku dan membenamkan kakinya yang bersisik duri itu ke mulutku? Bayangan ini memperbesar rasa takut dan juga jijikku. Dari sana terbitlah sebuah niat: kecoak remaja ini harus kubunuh! Tapi bagaimana? Membunuh dengan menghantam dan meremukkannya bukanlah sebuah langkah yang bijak. Organ dalam tubuh kecoak yang berceceran akan menyebarkan milyaran bakteri ke dalam koridor kamarku ini.

Aku ada ide lain. Pertama, kecoak remaja ini akan kulumpuhkan dulu. Dengan apa? Dengan semprotan pengharum ruangan karena kutak terbiasa menggunakan obat nyamuk semprot. Pengharum ruangan biasanya mengandung alkohol dan mungkin, semprotannya, dalam kadar tertentu, dapat membuat kecoak remaja ini mabuk dan lebih mudah ditangani. Setelah itu, kecoak yang setengah mabuk ini akan kuserok dengan slembar karton dan secepatnya kulemparkan ke dalam jamban. Begitu tiba di kedalaman sana, akan kupencet tombol dan mengalirlah kau kembali ke kegelapan…

Puas dengan rencana pembunuhan ini, segera kubergerak cepat menarik peralatan pembantai: secarik karton yang kurobek dari kotak pembungkus minuman ringan; sebuah gelas plastik untuk mengurung kecoak remaja itu dan sekaleng semprotan pengharum yabg masih penuh. Perlahan, botol semprotan pengharum ruangan kudekatkan ke arah kecoak yang masih diam terpaku. Bantalan jempol kananku bersiap menekan tombol semprotan. Dan dia tetap diam di sudut sana. Muncul sebuah bayangan di benakku: kecoak itu menengok ke arahku dan menatapku langsung ke kedalaman kedua bola mataku. Lewat tatapan itu, ia hujamkan sebuah tanya: mengapa? Ya, mengapa kau, manusia ingin menghabisiku? Tolong jawab dulu pertanyaan ini sebelum kautuntaskan niatmu menghapus keberadaanku dari sudut koridor kamarmu ini. Apakah pembunuhan ini adalah tindakan yang perlu kaulakukan? Pernahkah melintas di benakmu bahwa akupun mahluk ciptaan Tuhan. Sebagai mahluk ciptaanNya, aku juga berhak hidup dan berada di dunia ini. Tolong kaurenungkan dulu makna keberadaanku ini sebelum kaulanjutkan tindakanmu. Apakah Tuhan menciptakanku hanya untuk dibunuh dan ditiadakan? Apakah aku hadir hanya untuk dilenyapkan? Jawab dengan jujur: mana yang lebih mendorongku melenyapkanku: bahaya yang nyata atau ketakutan dan rasa jijikmu yang luar biasa? Apakah kaumembunuhku hanya karena KITA BERBEDA? Diam kau…. coro! Seruan batinku menghancurkan gugatan batinku sendiri dan segera kutekan penyemprot pengharum ruangan. Seketika itu juga semburan cairan pengharuman ruangan mengalir deras mendorong kecoak itu ke sudut. Tak ada jalan keluar selain kematian baginya. Di depan mataku, ia meronta-ronta menerima terjangan semburan cairan yang keluar dari botol pengharum ruangan. Dalam hitungan detik, ia tenggelam dalam buih putih dan kemudian terjungkal dengan sisi perut menghadap ke atas akibat terpaan yang tiada henti. Pada saat itulah kuhentikan semburanku. Di tengah buih cairan pengharum ruangan, kecoak yang basah itu menggerak-gerakkan kakinya hendak bangkit dan menjejak kembali ke tanah dengan ketiga pasang kakinya itu. Namun usahanya itu jelas dijawab oleh kesia-sian belaka. Dalam situasi seperti itulah, kukuputuskan menyerok dia dengan kertas karton, mendorongnya masuk ke dalam gelas plastik, kumelangkah ke arah jamban dan dengan membalikkan gelas plastik, kukirim dia ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Plung! Diapun jatuh di sana dan mengapung sambil terus meronta, berjuang dengan seutas asa penghabisan mempertahankan keberadaannya di dunia mahluk hidup. Di bawah tatapan mataku, kulihat ia terus meronta dengan gerakan kakinya. Dan kutuntaskan misiku dengan menekan tombol flush dan sluruuup… arus airpun mengirimnya ke dunia bawah tanah: dari mana dia datang, ke sana dia berakhir.

Malam berikutnya aku tertidur berselimut keringat dingin di sekujur badanku. Di dalam tidurku, jutaan kecoak seukuran manusia mengepungku. Dengung dan suara gesekan jutaan pasang kaki mereka mengisi udara. Tiba-tiba tanah bergetar ditingkahi suara dentuman. Kemudian, dari balik kerumunan itu, tampil seekor kecoak perak. Ujung keenam kakinya berbentuk godam berwarna keperakan. Dia melangkah mendekatiku dan setiap kali kaki godamnya menyentuh bumi, tanah bergetar diringi suara dentaman. Ketika kepalanya tepat berada di hadapan wajahku, ia berhenti. Gambar diriku terpantul di dalam jutaan pixel matanya yang juga keperakan. Lalu ia mengepakkan sayap-sayapnya, dan perlahan tubuhnya terangkat menjauh dari tanah. Kaki-kaki godamnya terjuntai dan diayun-ayunkannya persis di depan mataku. Bau bahaya maut kucium di udara. Dan benar, salah satu kakinya mengayun dan menghantam batok kepalaku. Tengkorakku pecah oleh hantaman kaki godam peraknya dan dari sana berhamburan isi kepalaku: segala prasangka dan praduga, segala ketakutan dan penyakit jiwa lainnya; semuanya berhamburan dan menyebar di udara…

Ville-de-lumiere, Rabu dini hari, 14 Oktober 2015  

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/triantoseverus/matinya-seekor-kecoak_561d7716919773870ffa0f47

Kugenggam Lembut Jemari Puisi

Pacarku cemburu pada puisi. “Kauberi sinar matamu padanya dan bukan padaku,” untukku kesal itu dialamatkan. Setelah diam sejenak untuk memamerkan wujud cemberut wajahnya, ia merenggut buku kumpulan puisi itu dari tanganku dan dibenamkannya di bawah lipatan kakinya. ” Spontan, tangan kananku terjulur hendak merebut kembali buku itu, tetapi demi perdamaian dunia, kuurungkan niatku ini. Hanya bunyi desahan yang keluar dari kedua bibirku, tanda menyerah dan pengakuan, tuduhannya benar.

Apa aku salah berpacaran dengan seorang penyair? Penyair mana yang tidak terbang ke langit ketujuh begitu tahu syairnya dicintai orang?

“Kalau orang lain yang tergila-gila pada puisi-puisiku, okelah. Tetapi mestikah kubersaing dengan puisi-puisiku sendiri demi perhatianmu!” Begitu dampratnya suatu kali di dalam warung usai menonton sebuah pertunjukan teater.

Dengan meremas mesra jemari kedua tangannya,kucoba memadamkan api cemburu yang mengganasi hatinya. “Sayang, sebagai penyair engkau tentu tahu, puisi-puisimu adalah anak-anak kandungmu sendiri. Ibu mana yang cemburu pada anak-anaknya sendiri?”

“Kau tidak mencintai puisi-puisiku sebagai buah kandunganku. Kau mengasihi mereka sebagai…. kekasihmu!” Saat itulah ia mulai sesegukan, lantas menarik jemarinya lepas dari genggamanku, dan menyeka air mata yang pelan tapi pasti menetes dari kedua matanya yang besar itu.

“Duh, kalau begitu, aku bisa kena dakwaan pedhopilia dong!” Begitu peringatan batinku sendiri.

***

Mungkin ini salahku. Dia jadi sepiawai ini meracik kata-kata gegara pengaruhku jua. Akulah yang memperkenalkannya pada mukjijat bahasa.

“Tahukah kau sayang, semesta ini tercipta lewat kata.’Pada mulanya adalah kata*’?” begitu ucapku suatu malam ketika kami duduk berdua di sebuah warung persis di atas kebun teh, sambil menikmati jagung bakar.

Sambil menunjuk langit bertabur bintang, kulanjutkan bisikan filosofis bahasaku ke telinganya,” Langit biru di atas sana tingga tetap kanvas hampa tanpa kedua mata batin kita yang kita sebut bahasa. Bahasalah yang memaknai apa yang kita terima lewat indera. Berkat bahasa, kejadian silih berganti dapat diatur menurut ruang dan waktu agar jadi pengalaman yang bernilai.”

” Bagaimana bahasa mencipta semesta kalau kitalah yang menciptakan bahasa?” sanggahnya setelah menelan butiran jagung bakar yang sudah dilumatgiling oleh barisan giginya yang putih dan berjejer rapi itu.

“Kau yakin kitalah yang menciptakan bahasa? Sekarang kutanya. Siapa yang lebih dulu ada ketika kaulahir, kau atau bahasa? Kita dilahirkan ke dalam bahasa dan bukan sebaliknya. Sebelum kita menggunakan bahasa sebagai alat, ia lebih dulu jadi ibu kandung keberadaan kita di dunia ini. Bahasa adalah rumah bagi ada**,” hasutku sambil menyertakan kutipan seorang pemikir tersohor.

Kutaktahu, apakah kekasihku yang baru saja lulus S1 ini menangkap makna bisikan filosofisku. Yang pasti, dia diam sambil menatap langit biru. Di atas sana bintang bertaburan. Di tanganku, barisan biji jagung bakar siap kulumatkan.

***

Tidak membutuhkan waktu lama setelah peristiwa jagung bakar malam itu, pacarku mulai keranjingan membaca buku-buku sastra, puisi-puisi pada khususnya. Dikulitinya satu persatu kumpulan puisi Chairil Anwar. Dengan semangat, dikisahkannya padaku kekagumannya pada pelopor angkatan ’45 itu. Pilihan katanya, dasyat bingit, kagumnya:

Hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah

Disenandungkannya baris terakhir Derai-derai cemara karya pujangga ’45 itu.

Karya-karya Sutardji mengawali harinya :

hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku. pecahlah rabuku mengalirlah…

serunya mendeklamasikan Berdarah nya sang presiden puisi Indonesia setelah menyeruput kopi.

Di dalam bis, kekasihku ditemani bocah kata-kata dari syair-syair Sapardi:

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu di jalan itu***

Sebelum tidur, disempatkannya bergayut pada kata-kata mesra Rendra sebelum akhirnya terlelap dalam mimpi puitisnya sendiri:

Adapun tergolek di pangkuan

Bukan apa selain kenangan****

 

Hanya di tempat kerja, puisi absen dan tidak bisa bersamanya.

Pada masa-masa itulah, pacarku keranjingan kata. Tiada cemburuku, malah bangga. Berhasil kutularkan padanya dunia bahasa. Hingga lahirlah kumpulan puisi pertamanya dan….. aku jatuh cinta padanya… pada puisi-puisinya.

Semesta bahasa yang kuperkenalkan berbalik menjadi figur yang menaklukkan diriku sendiri. Aku bukanlah penguasa kata-kata. Aku bertekuk lutut di depan bahasa, lewat kumpulan puisi kekasihku ini. Dari syair-syairnya muncul cakrawala di mana aku bisa bermain dan menjadi diriku sendiri. Kata-kata puitisnya telah menyihirku sekaligus membebaskanku.

Tiada jalan tengah dalam masalah ini. Tiada bentuk pilihan selain atau…atau… Atau kekasih penyairku atau puisi-puisinya. Penyair laksana ibu yang mati begitu puisi lahir ke dunia ini.

***

Malam. Gerimis. Di warung di atas kebun teh. Warung yang sama seperti beberapa tahun sebelumnya. Langit yang sama. Hanya gerimis yang bertamu tanpa pesan.

Kami duduk berdua. Diam. Tanpa kata. Tanpa jagung bakar. Gemerutuk jemari gerimis di atas atap seng laksana dentuman meriam. Canda gerimis seolah mengejek kebekuan kami.

“Mas,” desahnya menyibak kesunyian,”Kausalah.”

Aku berusaha diam, tak bergerak, berupaya tak memberi gerak-gerik yang dapat ditafsirkan segala yang akan dikatakannya. Diapun melanjut.

“Kausalah selama ini. Puisi-puisiku bukan anak kandungku. Dia keturunan yang sah dari bunda kehidupan. Aku hanyalah dukun bayinya, bidannya. Kalau aku harus cemburu, kucemburui kehidupan yang menjadi ibu kandungku sendiri: ibu kandungku dan puisi-puisiku. Tidakkah kautemukan terang wajah bunda kehidupan dalam senyum manis putra-putri puitisnya?”

Seperti aliran sungai yang sejuk, kekasihku terus bicara.

“Kurela kauduakan asal kau menemukan wajah kehidupan dari puisi-puisi ini. Biarlah imajinasiku mati di benakmu asal wajah cerah bunda kehidupan mengayomi langkahmu.”

Pada saat itu, diarahkannya wajah bulat telurnya padaku. Dan kulihat sinar di kedua bola matanya.

Aku terkesima.

Kekasihku, pada waktu itu, menjelma menjadi puisi hidup. Cakrawala membentang di matanya dan di sana kubiarkan diriku seutuhnya tenggelam.

Tirai gerimis masih menyelimuti malam. Tapi kami tahu, meski tak tampak, bintang masih bersinar di atas sana. Dan di warung ini, tiada jagung bakar di tanganku. Kugenggam lemut jemari puisi.

 

Ville de Lumière, Senin sore 25 April 2016

* Awal kredo puisi Sutradji Calzoum Bachri

** Kutipan dari filsof Martin Heidegger

*** Penggalan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardji Joko Damono

**** Penggalan puisi WS Rendra, Tidurlah Intan
Dari blog sahabat. Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/triantoseverus/kugenggam-lembut-jemari-puisi_571e00e40f9773fe068b4576

Isu Agama dan Sepotong Gitar

(dikutip dari artikel Trianto Severus, Kompasiana, atas ijin penulis)

guitar_pick___love_conquers_all_by_thelightandthedark1-d5q83cc

Menjelang tanggal 25 Desember, lalu-lintas gagasan di halaman facebook-ku diramaikan oleh perdebatan tentang boleh tidaknya saudara-saudari muslim mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada mereka yang merayakannya. Namanya juga perdebatan, pasti ada pro dan kontra. Seorang sohib sempat meninggalkan tanggapan: ah cerita lama…

Memang cerita lama, tapi toh tetap eksis karena masih menghadirkan tanya… balasku.

Teman lainnya berkoar: Asal jangan dijadikan konsumsi perdebatan murahan aja. Jangan sampai kayak film Nightcrawler : if it bleeds, it leads.

Waah, udah nonton ya… di mana?…. komentar teman yang lain, di luar konteks.

Ternyata, pada hari yang sama, riuh rendahnya obrolan seputar agama terjadi juga di luar halaman facebook pribadi. Di halaman depan Kompas edisi dunia maya, misalnya, tema itu dikibarkan oleh artikel berjudul: PBNU: Jangan Politisasi Isu Agama! Tempo.com tak mau ketinggalan bersuara tentang tema agama dalam artikel pendeknya di bawah judul : Syafii Maarif: Selamat Natal seperti Selamat Pagi. Kedua artikel ini menghembuskan roh yang sama yaitu roh persatuan dan persaudaraan dalam satu keluarga bangsa, Indonesia.

Gaduhnya pembicaraan tentang tema agama dapat menunjukkan satu hal: kita masih gagap melafalkan semboyan bersama, yaitu persatuan dalam perbedaan, Bhinneka Tunggal Ika. Mengapa, misalnya, unsur kekeluargaan yang terkandung dalam ucapan salam “Selamat Natal,” tiba-tiba seolah beralih wujud menjadi sebilah pisau yang mengancam identitas keagamaan seseorang? Haruskah, misalnya, topi sinterklas diganti saja dengan caping pak tani, agar tiada lagi jadi masalah di bulan Desember ini? Bagaimana menghayati iman pribadi secara utuh di tengah sesama saudara sebangsa yang punya penghayatan iman berbeda?

Kepada teman-teman diskusi di facebook, kutawarkan satu penghayatan hidup keagamaan yang pas dengan iklim keberagaman di Indonesia. Hidup beragama itu seperti bermain gitar, ungkapku.

Bah, maksudnya, tanya Ucok dengan logat Bataknya yang tetap dipasang walau hanya dalam bentuk tulisan.

Kujelaskan, seperti orang mau main gitar, dia harus nyetem senarnya dulu. Di kepalanya sudah ada pengetahuan kalau senar gitar itu ada enam, dan setiap senar punya nadanya sendiri. Tapi, pengetahuan saja tidak cukup. Dia mesti membunyikan senarnya dan mendengarkannya, apakah nadanya sudah pas atau belum…

Joko, teman diskusi asal Jogja berkomentar, terus, hubungannya sama hidup beragama apa?

Hubungannya mas Joko, jawabku, seperti penyetem gitar, kita yang mengaku beragama harus bisa juga membedakan sisi pengetahuan agama yang disebut sisi teologis, dan sisi bunyi atau apa yang disuarakan agama, yaitu sisi praksis humanisnya. Sisi teologis agama tidak dapat dipisahkan dari sisi praksisnya, karena ia menjadi dasar; persis seperti teori nada untuk setiap senar gitar. Tetapi keduanya toh perlu dibedakan. Demikian juga untuk hidup beragama. Agama tidak cuma perkara teologis tapi juga perkara praktis humanis. Dawai-dawai persaudaraan antar sesama manusia mesti dimainkan untuk menyampaikan merdunya kebenaran teologis setiap agama. Bukankah sebagai bagian dari budaya, setiap agama pada hakekatnya bertujuan mengangkat ciptaan Allah yang paling agung? Bukankah keagungan Allah justru semakin kentara dalam keluhuran dan kemuliaan manusia, ciptaanNya yang paling sempurna?

Wulan, mahasiswi sospol asal Bekasi tak mau ketinggalan berkoar, wuiii, mas Trianto berteologi nih. Bener sih. Agama bukan cuma perkara teologi alias ngomongin Tuhan, tapi juga perkara manusiawi juga. Mantabs bro… lanjutkan.

Dimas yang dari Purwokerto mencoba mengambil kesimpulan praktis, nah, kalau begitu, mengucapkan Selamat Natal atau Selamat Idul Fitri atau Selamat lainnya tidak mengingkari jati diri iman seseorang dong. Karena yang disentuh adalah dimensi praksis humanisnya dan bukan teologisnya. Bener gak bro?

Lah, kudunya mesti begitu. Kenapa sih apa-apa mesti langsung dihubungkan sama Tuhan. Memang, ketuhanan yang maha esa itu sila pertama, tapi kan perlu diingat kalau empat sila lainnya adalah penjabaran bagaimana ketuhanan itu mesti diwujudkan dalam kehidupan bersama, kembali Wulan ambil suara.

Nah, saya terusin ya…. potongku. Persis seperti yang dikatakan, eh ditulis den ajeng ayu Wulan (Wulan pun mengirim emoticon perempuan berselendang yang tersipu malu), kita tak perlu langsung ngomongin Tuhan. Setiap agama punya cara berbeda dalam membicarakan Tuhan. Tetapi, ada titik temu untuk setiap agama, yaitu manusia. Penghayatan akan Dia yang disebut Tuhan bisa berbeda-beda, tetapi kemanusiaan kita sama. Nah, ini point kedua. Kita mesti pintar menjaga tegangan antara persamaan dan perbedaan. Persis seperti menyiapkan gitar: harmoni akan tercipta kalau setiap senar berada dalam posisi tegang yang pas…

Wah, seru, tegang…. koment Ucok.

Husss, jangan saru kamu…. Balas Joko. Lanjut Tri…

Oke, jadi kita mesti menjaga tegangan yang pas antara perbedaan penghayatan akan Tuhan dan persamaan kemanusiaan kita. Tanpa perbedaan, gitar tak akan menghasilkan harmoni karena pertama, hanya ada satu senar dan kedua tidak ada tegangan. Jadi, kita tidak bisa membiarkan sikap iman kita lentur dengan mengatakan ah semua agama sama saja. Sikap ini adalah wujud ketidakpedulian terhadap keunikan iman kita sendiri dan iman lainnya. Sikap ini ibarat senar gitar yang kendor. Tetapi sebaliknya, kalau kita terlalu kencang menarik perbedaan setiap agama tanpa melihat manusia-manusia konkret yang menjadi penganutnya, kita juga bisa kehilangan keseimbangan. Ibaratnya, senar gitar yang putus karena ditarik kekencengan.

Waaah… ngerti aku, balas Dimas.

Jadi, gak pa-pa nih ngucapin selamat natal… gak dilarang juga kan berkunjung ke teman atau saudara nasrani yang merayakan Natal. Kayak dulu itu loh… Tanya Joko.

Lah, yang dirayakan kan bukan melulu sisi teologisnya bro. Tapi juga sisi humanisnya. Kayak sloganya Kompas.com itu loh… merayakan kemanusiaan…. Hehehe…. Timpal Wulan.

Dan jangan salah, ucapan Merry Christmas juga baru muncul di abad 19, gara-gara Christmas Carol nya Charles Dickens. Jadi, gak ada hubungannya sama teologi-teologian brawww… Imbuh Dimas yang tiba-tiba tahu sesuatu tentang sejarah Natal (mungkin setelah membuka wilkipedia…)

Singkat kata, mari kita nyanyi bersama: Sinantar tulo tulo a tulo oooo….

Ville de Lumière, Sabtu Pagi 20 Desember 2014

 

 

Calvary: Ketika Pastor Tidak Lagi Jadi Bos… (sebuah resensi film)

calvary_ver2_xlg1

Romo James ( Brendan Gleeson) adalah sosok gembala yang baik bagi umat parokinya. Ia sungguh hadir bukan pertama-tama sebagai pengotbah tetapi sebagai ‘teman bicara.’ Ia mengenal dengan baik setiap domba gembalaannya. Ia kenal bagaimana Michéal (Michael Og Lane), seorang putra altar, punya kecenderungan memanipulasi, misalnya. Pengenalan ini muncul karena romo James senantiasa menyediakan diri untuk mendengarkan isi hati domba gembalaannya, di dalam maupun di luar ruang pengakuan. Tidak cukup menunggu mereka datang, ia sendiri akan berkanjang pastoral untuk bertemu dan berbicara dengan mereka. Singkat kata, romo James menerjemahkan fungsi kegembalaannya sebagai “komunikator,” artinya dia yang membangun komunikasi. Jika komunikasi dimaknai sebagai upaya membangun communio, persekutuan,  maka romo James memandang dirinya sebagai alat Tuhan untuk menjadi jembatan antara manusia dan sesamanya serta manusia dan Tuhan. Di samping itu, Romo James tampil sebagai seorang pribadi matang. Ia menjadi imam setelah istrinya berpulang dan putri semata wayangnya, Fiona, sudah mandiri dan bekerja di London.

Demikianlah, sutrada dan penulis film Calvary, John Michael Mc Donagh, menggambarkan pribadi romo James, tokoh utama dalam film terbarunya ini. Film yang mengambil lokasi di pantai timur Irlandia ini dapat dilihat sebagai semacam refleksi atas kehidupan menggereja di Irlandia yang belakangan ini diguncang oleh “tsunami” skandal pelecehan seksual. Di sana, para romo Gereja Roma Katolik dibidik sebagai pelaku utama di balik skandal yang disinyalir telah terjadi selama lebih dari setengah abad yang lalu itu.

Calvary dibuka dengan sebuah adegan di ruang pengakuan. Di ruang itu, kepada romo James, seorang pria bercerita tentang pelecehan seksual yang dideritanya dari seorang pastor. Ia menanggung siksaan fisik dan psikis itu sejak berusia tujuh tahun dan berulang-ulang terjadi selama lima tahun. Sang korban menutup kisahnya dengan sebuah permintaan tak terduga: ia ingin membunuh romo James, bukan karena romo James bersalah tetapi justru karena sang romo dianggap tak bersalah. “Buat apa membunuh seorang Romo yang banyak cacat cela. Tetapi, membunuh seorang Romo yang suci, di hari Minggu pula, hal itu akan menjadi berita!”

Maka ia mengundang romo James untuk datang sendiri ke pantai pada hari Minggu berikutnya.

Bangunan kisah Calvary diisi oleh perjumpaan dan perbincangan romo James dengan umat yang digembalakannya, pada seminggu sebelum kejadian di tepi pantai itu. Tidak semuanya menghargai upaya romo James untuk membangun komunikasi. Veronica (Orla O’Rourke), misalnya, yang terkenal punya banyak “teman tidur” pria padahal sudah menikah, tanpa ragu mengakui dosa perzinahannya kepada romo James tetapi tetap terus melakukan dosa yang sama. Atau Fitzgerald (Dylan Moran), seorang bankir kesepian, yang mengundang romo James ke rumahnya hanya untuk memamerkan kekayaannya. Atau tukang daging, suami Veronica, Jack Brennan (Chris O’Dowd), yang tidak peduli pada tingkah laku istrinya dan mengejek romo James dengan pertanyaan, “Apakah Tuhan masih ada?” Semua itu tampil sebagai ilustrasi bagaimana situasi masyarakat di Eropa sudah berubah. Imam, yang dulu sempat dipandang sebagai “penguasa” (sebutan Don, di Itali, misalnya, merujuk pada status ekonomi-sosial seorang imam sebagai tuan tanah), kini tidak lebih dari orang kebanyakan. Seorang imam bukan lagi “boss” yang perkataan dan perintahnya harus didengarkan dan dituruti.

Namun demikian, semangat romo James tidak surut. Ia yakin bahwa keimamatan tidak pupus karena penolakan dan pelecahan itu. “Jenisku tidak akan pernah musnah,” begitu ucapnya kepada Brendan (Pat Shortt), penjaga bar setempat. Ucapan romo James ini seolah ingin menjawab keraguan orang akan makna kehadiran imam khususnya dan Gereja Katolik umumnya di Eropa yang sedang dilanda krisis iman.

Krisis itu berwujud merosotnya jumlah imam dan tergerusnya jumlah umat yang hadir ke perayaan Ekaristi. Lebih dari puluhan ribu imam telah meninggalkan panggilannya di banyak negara Eropa (di Inggris sendiri sudah lebih dari 10 ribu imam menanggalkan jubah sejak lima puluh tahun yang lalu). Perayaan Ekaristi mingguan semakin senyap dari kehadiran umat. Akan tetapi, Calvary bukanlah cerminan sikap pesimis McDonagh. Ia ingin menggambarkan situasi nyata tanpa melepaskan harapan.

Harapan itu dihadirkan dalam sosok Theresa (Marie-Josée Croze). Theresa kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan mobil. Romo James dipanggil untuk memberikan sakramen perminyakan. Dalam sebuah adegan di kapel rumah sakit, Theresa mengungkapkan kekuatan imannya. Kematian suaminya, katanya, tidak menghapus imannya akan Yesus. Sebab, ia dan suaminya telah menjalani hidup yang begitu indah selama ini. Mereka berdua saling mencintai. Baginya, kematian sang suami bukanlah sebentuk ketidakadilan yang ditimpakan Tuhan kepadanya. “Yang tidak adil adalah, mengapa begitu banyak orang tidak bahagia karena tidak saling mencinta. Saya merasa kasihan kepada mereka,” begitu ungkapnya.

Jika romo James setia menjadi pendengar yang baik bagi siapa saja yang ingin mengungkapkan isi hatinya, siapa yang bersedia mendengarkan isi hati romo James itu sendiri? Pertanyaan ini muncul karena di dalam film, romo James tidak pernah mengungkapkan keluh kesahnya. Misalnya, ia tidak bercerita kepada Fiona (Kelly Reilly), putrinya dari pernikahannya terdahulu, tentang kematian Bruno, anjing kesayangannya. Atau juga tentang rencana pembunuhan terhadap dirinya. Figur romo James, adalah figur yang kesepian. Padahal, kepada putrinya itu, yang beberapa kali mencoba bunuh diri karena gagal dalam percintaan, romo James berpesan untuk menemukan seseorang untuk berbicara agar bebannya dapat dikurangi.

Calvary akan berlalu begitu saja kalau kita menontonnya tanpa memperhatikan tidak saja detil dalam setiap percakapan tetapi juga dalam gambar-gambar yang ditampilkan. Permainan warna, misalnya, menyampaikan pesan sendiri. Warna merah menampilkan segala hal yang bersifat duniawi, yang cepat atau lambat akan musnah. Maka, warna merah dikenakan oleh sang sutradara pada mobil sport romo James (yang memang berfungsi untuk melaju), pada karpet yang terbentang di dalam gereja dan dinding seputar altar gereja paroki (musnah terbakar di pertengahan film. Yang tidak terbakar hanya altar yang berwarna putih), pada bunga mawar di taman kediaman uskup dan pada darah yang membuncah dari leher Bruno yang tersayat. Tidak hanya permainan warna, objek-objek tertentu pun memiliki pesan tersendiri. Laut, misalnya, digunakan oleh sutrada untuk menampilkan chaos purba di mana kematian meraja. Fitzgerald berkata kepada romo James kalau banyak orang mencampakkan dirinya ke atas batu karang di tepi laut. Ahli pembiusan Frank (Aidan Gillen) berkata kalau suami Theresa yang wafat dalam kecelakaan adalah ahli kelautan dan sekarang tinggal di kedalaman ‘laut’ (kematian) selamanya. Oleh karena itu, perbincangan antara romo James dan putrinya Fiona, tentang cinta, dengan latar belakang laut sungguh mengesankan: hanya cinta yang dapat mengalahkan kematian.

Tidak mudah mencerna Calvary sebagai sebuah film. Perlu dua atau tiga kali menontonnya untuk dapat masuk dan terlibat dalam pengisahannya. Calvary dapat dianggap sebagai microkosmos kehidupan imamat dan Gereja Eropa aktual. Tidak perlu jatuh dalam pesimisme melihat kenyataan ini. Tetapi jangan juga terbawa sikap jumawa karena mengandalkan kehebatan masa lalu Gereja.

Jangan putus asa: seorang pencuri telah masuk surga. Jangan jumawa: yang satunya masuk neraka. Begitu kutipan santo Agustinus yang mengawali film Calvary.

Gereja diundang untuk menghayati pondasi imannya, yaitu peristiwa salib Yesus di Kalvari yang berujung pada kebangkitan. Romo James menjadi personifikasi Gereja Eropa yang menyadari panggilannya. Ia setia menjadi jembatan, komunikator, pencinta kemanusiaan dan keilahian, meski beresiko kematian.

Paris, Minggu 7 Desember 2014

FOTO: Paris di Bawah Salju

Sudah sejak hari Jumat kemarin, Paris diberi karunia salju yang melimpah. Karunia bagi siapa? Bagi mereka yang belum atau jarang melihat salju tentunya, seperti saya. Maka, begitu ada kesempatan, langsung badan ini saya bawa keluar asrama untuk merekam suasana Paris bersalju.

Berikut ini adalah sebagian dari hasil jepretan di hari Minggu kemarin, 20 Januari 2013. Meski suhu masih minus 2, jiwa terasa hangat untuk menjajal kamera Nikon Coolpix L310 yang baru datang. Karena baru pertama kali menggunakan kamera “setengah beneran”, hasilnya masih sangat amatiran. Masih sering kepleset fokusnya, masih keenakan ngandelin Auto Mode alias ‘gak mau repot, dan kamera masih sering goyang waktu beraksi menjempret sasaran.

Es Gantung (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Es Gantung (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Gerombolan Merah (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Gerombolan Merah (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Si Putih dan salju (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Si Putih dan salju (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Snow Bamboo (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Snow Bamboo (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Manuk Cilik Dolanan Salju (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Manuk Cilik Dolanan Salju (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Gak kedinginan y? (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Gak kedinginan y? (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Bebek berendem (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Bebek berendem (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Luxembourg gundul (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Luxembourg gundul (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Pantheon and snow (MACRO,ISO 100, exposure -3)
Pantheon and snow (MACRO,ISO 100, exposure -3)

Sing Rukun Yo (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Sing Rukun Yo (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Ada Tahu Mantolku? (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Ada Tahu Mantolku? (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Latihan Drama Ceritanya (MACRO, ISO 100, exposure -3)
Latihan Drama Ceritanya (MACRO, ISO 100, exposure -3)

Kalau ada rekans yang punya ketertarikan yang sama di bidang perfotoan, kritik dan saran sangat diharapkan. Matur nuwun.

Paris, Minggu 20 Januari 2013

Religiositas Seorang Pelacur dalam Lagu “Azan Subuh Masih di Telinga”

Pelacur. Baru menyebutnya saja sudah membuat hati ini gelisah dihujam rasa bersalah. Untunglah masyarakat menciptakan beberapa istilah lain yang lebih santun untuk menunjuk salah satu profesi tertua dalam peradaban manusia ini, semacam kupu-kupu malam (lebih manis), perempuan malam (bermakna ganda), pekerja seksual komersial (biasa disingkat PSK) atau yang lebih jadul dan lebih sadis lagi: wanita tuna susila (biasa disingkat WTS). Ada satu istilah lagi yang untuk kebanyakan orang terdengar lebih kasar: lonte.

Kecenderungan memilah-milah istilah dan memilih untuk tidak menggunakan penyebutan yang berkesan kasar mau menunjukkan betapa profesi ini bersifat mendua: di satu sisi dihindari, diemohi dan bahkan dikutuki tetapi di sisi lain ternyata profesi ini sulit dihapus keberadaannya dari masyarakat manusia, khususnya masyarakat kota-kota besar. Tetapi sebenarnya, siapa yang ‘mendua’? Masyarakatnya atau profesinya?

Belakangan ini, dalam pembelaannya, ormas tertentu menggunakan istilah lain yang dikaitkan dengan profesi ini, yaitu maksiat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, maksiat mau menujukkan segala perbuatan yang melanggar hukum dan perintah agama, misalnya berjudi dan berzinah. Melacur dapat digolongkan ke dalam kelompok berzinah yang berarti berbuat maksiat. Kalau melacur disebut perbuatan maksiat, tempat-tempat pelacuran disebut tempat-tempat maksiat. Tidak seperti istilah pelacur yang menunjukkan ambiguitas atau kemenduaan dalam masyrakat, sebutan maksiat berkesan tunggal karena datangnya dari perintah Tuhan. Tidak ada tawar menawar lagi. Dosa atau tidak. Surga atau neraka. Titik. Oleh karena itu, untuk menjalankan perintah Tuhan, praktek maksiat ini harus dihapus.

Saya setuju bahwa pelacuran adalah perbuatan maksiat dan karena itu berdosa. Tetapi, bukankah orang mestinya dapat membedakan perbuatan dari manusianya? Perbuatannya bisa salah dan dihapus tetapi mestikah kita juga ‘menghapus’ orangnya? Bukankah nyawa orang di tangan Tuhan, termasuk nyawa pendosa? Perbuatannya jelas mesti kita kutuk tetapi siapa di antara kita yang berani menyatakan diri suci hingga berhak mengutuk pribadi-pribadi tertentu, termasuk para pelacur? Apakah kita sungguh yakin bahwa Tuhan tidak ada di dalam hati mereka juga?

Lantas saya teringat syair sebuah lagu yang menyandingkan kehidupan seorang pelacur dengan sikap religiositas atau perasaan keimanan-keterarahan hati pada Yang Maha Kuasa. Lagu yang saya maksud ini berjudul Azan Subuh Masih di Telinga yang dinyanyikan oleh Iwan Fals.

Lagu ini berkisah tentang seorang pelacur (yang dalam lagu tidak disebut nama dan profesinya secara eksplisit, tetapi pendengar dapat menduganya; perempuan itu disebut dengan perempuan satu) yang pulang ke rumah mana kala hari masih subuh. Sambil berjalan pulang, hatinya ditikam rasa bersalah karena pekerjaan yang baru saja dilakukannya. Gang sempit dan rumah-rumah yang berdesakan (simbol masyarakat pada umumnya?) seolah menuding dan menghakiminya. Tusukan rasa salah semakin dalam dan menyakitkan ketika ia tahu bahwa malam telah diganti pagi. Memang, belaian pagi yang bersih dan segar sempat menghibur hatinya tetapi ia segera sadar bahwa dengan datangnya pagi berarti kehidupan malamnya yang suram telah selesai dan kehidupan orang ‘normal, bersih dan terhormat’ akan dimulai. Kesadaran ini menciptakan perasaan diasingkan dan disingkirkan dari masyarakat dan kehidupan sosialnya. Hanya ada satu hal yang bukan saja tidak menghakiminya tetapi justru bersikap seperti seorang tetangga yang penuh pengertian: dendang subuh (lambang kehadiran Allah yang maha rahim?) yang tidak segan mampir ke hatinya yang keruh.

Tiba di rumah kontrakan, ia puaskan hatinya yang kering dihisap oleh rasa salah dengan doa-doa yang dilantunkan orang dari surau sebelah. Di sini nampak bagaimana si perempuan satu ini di satu sisi merasa dihakimi oleh masyarakat tetapi di sisi lain merasa butuh pengampunan dan dari mana datangnya pengampunan kalau bukan dari Tuhan? Oleh karena itu, begitu tiba di rumah, segera ia bersujud menyembah dan membiarkan hatinya dipenuhi oleh doa-doa yang mengalir dari surau dekat rumah sewaannya (nampaknya, dalam syair ini, perempuan satu tidak berani masuk ke surau di subuh itu). Dan sejuknya azan serta doa-doa subuh itu masih masih terasa meski mentari sudah sampai di pucuk kepala.

Lagu pun berlanjut berkisah. Suara ramai anak-anak sekolah mengayun pikirannya bernostalgia ke masa mudanya ketika perempuan satu masih segar, murni dan bersih; saat ia masih muda dulu. Inilah saat-saat penuh kebahagiaan. Kenangan itu pun mengajaknya untuk menari di depan cermin yang tidak lagi utuh. Mendadak, kebahagiaannya dalam kenangan dan tarian itu dihentikan oleh tegur anak (gadis?)nya yang baru pulang sekolah. Menatap sang anak, hati perempuan ini pun semakin tersayat rasa salah. Bisa jadi, ia bertanya dalam hati: bagaimana nasib anaknya nanti? Apakah anaknya ini juga harus menempuh jalan hidup seperti yang sedang ia jalani? Sampai di sini, lagu berhenti.

Sekarang, mari kita simak syair lagunya:

Ketika fajar menjelang
Terlihat dia melangkah enggan
Seirama dengan dendang subuh
Yang singgah di hati keruh

Sempit jalan berdesak bangunan
Memandang sinis mendakwa bengis
Perempuan satu dan hitamnya waktu

Dihapusnya gincu dengan ujung baju
Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu

Hari pagi menyambut kau kembali
Mengusap nadi mengelus hati
Sesal di hatimu kian mengganggu

Kau reguk habis semua doa doa
Dari surau depan rumah yang kau sewa
Tak terasa surya duduk di kepala
Azan subuh masih di telinga

Terdengar renyah tawa gadis sekolah
Menyibak tabir cerita lama
Didepan retaknya cermin yang telah usang
Menari dia seperti dahulu

Terdengar pelan ketuk pintu
Tegur anakmu buyarkan lamunan
Perempuan satu kian terbelenggu

Dihapusnya gincu dengan ujung baju
Dibuangnya dengus birahi sejuta tamu

Mereka yang disebut pelacur juga manusia, yang butuh diterima, butuh dikasihi dan mengasihi, dan butuh Tuhan. Siapa yang dapat menaruh rasa kasih dan kebutuhan akan Tuhan kalau bukan Tuhan sendiri? Kalau rasa kasih dan iman itu ada di hatinya, bukankah berarti Tuhan sendiri sudah lebih dulu hadir di sana, bersama dengan dendang subuh yang berkenan mampir di hatinya?

Rumah sewaan di gang sempit dan petak-petak tempat tinggal yang saling berhempit, ditambah cermin usang yang sudah retak menggambarkan situasi sosial ekonomi si perempuan satu: ia hidup sebagai orang tidak punya. Gambaran ini melesakkan satu pemikiran dalam budi kita: bahwa mereka ini telah disudutkan oleh desakan kebutuhan ekonomi, demi perut terisi dan biaya pendidikan anak yang dicintai dan sulit menemukan alternatif lainnya selain menjalani profesi yang dicap maksiat ini. Ada semacam lingkaran setan: miskin jadi tidak bisa sekolah, tidak bisa sekolah jadi bodoh, bodoh jadi tidak bisa mendapat kerja, tidak bisa mendapat kerja jadi miskin, dan begitu seterusnya. Maka, upaya memutus lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan (plus kurangnya gizi) ini jelas lebih berguna daripada mengutuki mereka sebagai pendosa.

Ville-Lumière, 19 Februari 2012

Au Sommet de Sumbing

La première fois que j’ai vu le lever du soleil au sommet d’une montagne, c’était quand j’avais 16 ans. A ce moment-là, j’étais encore un jeune séminariste. Je me suis inscrit au groupe « d’amoureux de la nature » avec lequel j’apprenais à aimer et conserver la nature. A la fin de ma première année comme séminariste, j’ai participé à une expédition pour escalader une montagne qui s’appelait Sumbing. C’était une montagne de 3371 m et d’une rare beauté. On m’a dit que de son sommet on pouvait regarder les sommets d’autres montagnes qui apparaissaient dans la mer des nuages.

Après six ou sept mois de préparation, nous nous sommes mis à escalader cette montagne. J’avais beaucoup de questions dans ma tête : est-ce que je pouvais suivre cette expédition jusqu’au bout ? Est-ce que la préparation était suffisante pour ça ? Pour me calmer, je me suis dit que ma préparation m’avait porté à ce moment. Le long de l’escalade, peu à peu, je devais affronter les difficultés qui mettaient ma force à l’épreuve. Je pouvais écouter une voix intérieure qui me disait d’arrêter et qui me criait que la fatigue de l’escalade ne me servait à rien. A un certain point, j’ai senti que mes pieds n’étaient pas d’accord avec ma tête. Ils voulaient rester. A ce moment-là, j’ai compris que je ne pouvais pas seulement suivre mon corps mais que je devais suivre aussi ma volonté. C’était l’épreuve de la force de ma volonté !

Cinq ou six heures plus tard nous sommes arrivés au sommet. Il était 4h00. Il faisait encore sombre. Je ne pouvais voir que le noir. J’entendais le cri de la nature dans le vent qui soufflait. Quelqu’un m’a dit qu’une demi-heure plus tard nous allions voir le lever du soleil. En silence, nous l’attendions.

Quelques minutes après, j’ai vu que le ciel peu à peu devenait rouge, comme s’il y avait un incendie. Avec cette première lumière de ce jour, je pouvais apercevoir les nuages qui étaient au-dessous de nous. Ensuite, j’ai entendu un de nous qui a crié : « Regardez ! C’est lui ! » Et voilà, à l’horizon, j’ai vu un petit morceau rouge qui peu à peu devenait un disque géant brulant. Je sentais mon cœur rempli de joie. Je n’ai jamais vu une scène aussi magnifique. Je me suis dit que pour la première fois je pouvais assister à la naissance d’un jour. Les larmes coulaient de mes yeux. D’ici, au sommet de Sumbing, la vie et le monde étaient si beaux. L’orchestre du silence nous accompagnait à méditer cette splendide scène naturelle qui est imprimée dans nos cœurs à jamais.

Paris, 26 Juillet 2011

Di Puncak Sumbing

Kali pertama saya melihat terbitnya mentari di puncak sebuah gunung adalah ketika saya berusia 16 tahun. Saat itu saya masih seorang seminaris muda. Saya bergabung dengan sebuah kelompok pencinta alam di mana saya belajar mencintai dan merawat alam. Di akhir tahun pertama, saya mengikuti pendakian sebuah gunung, yaitu gunung Sumbing. Gunung ini berketinggian 3371 meter dan memiliki keindahan yang unik.

Setelah enam atau tujuh bulan persiapan, kami pun memulai pendakian. Di kepala saya, muncul banyak pertanyaan: apakah saya mampu mengikuti pendakian ini sampai selesai? Apakah persiapan saya cukup untuk itu? Untuk menenangkan diri sendiri, saya berkata bahwa saya dapat sampai pada detik pendakian ini karena persiapan yang sudah saya buat. Sepanjang pendakian, sedikit demi sedikit, saya mesti menghadapi beragam kesulitan yang menguji kekuatan saya. Saya dapat mendengar satu suara di dalam diri saya yang menyarankan saya untuk berhenti dan yang berteriak bahwa pendakian ini sia-sia saja. Pada titik tertentu, saya merasakan bagaimana kaki saya tidak sinkron dengan kepala saya. Sementara saya hendak terus mendaki, kaki saya meminta berhenti. Pada saat itulah saya mulai memahami bahwa saya tidak boleh mengikuti kekuatan tubuh semata tetapi juga harus menguatkan kehendak saya. Inilah ujian kekuatan kehendak!

Lima atau enam jam kemudian, kami pun tiba di puncak. Ketika itu jam 4 pagi. Hari masih gelap. Saya lihat kelam semata. Saya mendengar jeritan alam dalam angin yang berhembus. Seorang teman berkata pada saya bahwa kira-kira setengah jam lagi kami akan mulai menyaksikan matahari terbiat. Dalam keheningan, kami pun menunggu.

Dan, lihatlah, beberapa menit kemudian, langit perlahan menjadi merah, seolah ada kebakaran besar di ufuk timur. Dengan sinar pertama di hari itu, saya mulai dapat melihat lautan awan di bawah kaki kami. Kemudian, saya mendengar salah satu dari kami berseru,”Lihat, itu dia!” Dari cakrawala, saya melihat potongan kecil berwarna merah muncul dari balik awan dan pelan-pelan membesar menjadi lingkaran raksasa yang merah menyala. Saya merasa hati ini  dipenuhi sukacita. Tiada pernah saya menyaksikan pemandangan seagung ini. Dalam hati, saya berucap lirih: untuk pertama kalinya, saya menjadi saksi kelahiran sebuah hari. Tanpa sadar, air mata pun mengalir dari kedua mata saya. Dari sini, di puncak Sumbing, kehidupan dan dunia begitu indah. Orkes keheningan menemani kami merenungkan kejadian indah alami yang terpatri di hati kami masing-masing.

 

Di Desa U Waktu Tak Lagi Beranjak Maju


Pagi ini, kegemparan mengguncang desa U. Tanpa sebab, waktu berhenti pada hari Minggu tanggal 6 Februari 2011. Bolak-balik kalender dibuka, setiap lembarnya menunjukkan hari, tanggal, bulan, dan tahun yang itu-itu juga : Minggu 6 Februari 2011. Entah siapa yang pertama kali menemukannya, yang pasti gejala ajaib ini telah menyebar dan meresahkan seluruh warga desa. Segera tanda berkumpul diadakan. Bunyi kentongan pun susul menyusul, menjalar ke setiap rumah. Seperti dipecut oleh bunyi kentongan yang memecah udara, satu persatu warga keluar rumah untuk berduyun-duyun pergi dan berkumpul di Balai Desa.

Dalam waktu singkat, gelombang orang yang datang tidak saja segera memenuhi Balai Desa yang sempit itu tetapi bahkan meluber sampai ke jalanan. Ketika bunyi kentongan sudah luruh dari udara, masuklah kepala desa U dengan baju safari dan kopiah di kepala ditemani oleh beberapa orang stafnya. Sambil menyeka keringat di dahinya dengan sehelai sapu tangan, sang kepala desa mulai berbicara untuk meredam kegelisahan warganya : « Warga desa U yang saya kasihi. Saya kira, kita semua tahu, kenapa kentongan dibunyikan di awal hari seperti ini. Saya lihat di tangan saudara sekalian yang hadir di sini, ada kelender yang biasanya dipasang di dinding ruang tamu atau kamar tidur kita. Saya juga bawa kalender yang sama, seperti yang para saudara punya. »

Sambil berkata demikian, dengan tangan kanannya sang kepala desa mengangkat tinggi-tinggi lembaran kalender dengan foto para tokoh dan gambar lambang partai tertentu di dalamnya. « Pagi ini saya pun terkejut begitu istri saya memberitahu saya bahwa di dalam kalender yang sedang saya pegang ini hanya ada angka 6 di setiap tanggalnya dan hari Minggu di setiap harinya serta setiap lembarnya hanya menunjukkan bulan Februari. Padahal kemarin kalender ini masih normal-normal saja. » Sejurus  beberapa orang mulai membolak-balik kalender yang mereka bawa.

« Apa arti semuanya ini? » Kepala desa diam sejenak, untuk memberi bobot kepada jawaban atas pertanyaannya sendiri. Lalu, ia melanjutkan, « Kalau pagi ini kalender yang kita punya bertingkah tidak wajar, padahal kemarin biasa-biasa saja, artinya kesalahan bukan terletak pada percetakan yang membuat kalender ini, apalagi pada partai yang telah membagikannya kepada kita secara cuma-cuma. Jadi, jangan salahkan keduanya. Mengerti ? » Setiap kepala pun mengangguk-angguk tanda mengerti. « Dan lagi », tambah bapak kepala desa,  « Yang bertingkah aneh bukan cuma kalender dari partai ABC ini. Kalender anak saya yang gambarnya klub sepak bola mancanegara juga mengalami hal yang sama ». Kembali beberapa orang, kali ini yang lebih muda, membolak-balik kalender yang mereka bawa.

« Lalu, apa yang bisa kita buât sekarang? Yang bisa kita buât adalah, mari, kita buât sendiri tanggalan di rumah kita. Kita ingat kembali kemarin itu hari apa dan tanggal berapa untuk bisa menentukan hari ini hari apa. Ada yang ingat, kemarin hari apa dan tanggal berapa ? » Setiap orang saling memandang. Tidak ada jawaban. Hanya gumaman seperti bunyi lebah yang sampai ke telinga bapak kepala desa.

Setengah berbisik, ia bertanya kepada seorang staff yang berdiri di sampingnya, « Jang, kemarin tanggal berapa ? » Spontan si staff mencoba mencari jawab dengan melihat kalender yang ia bawa. Dengan sedikit geram, kapak Kepala desa menegur, « Jangan lihat kalender lagi, bodoh. Di situ tanggalnya sama semua. Lihat di handphonemu, pikun ». Merasa grogi ditegur keras oleh atasannya, dengan tangan gemetar ia keluarkan handphone dari saku celananya dan membuka penanggalan di sana. Apa yang ia lihat membuat matanya terbelalak. Melihat gelagat aneh staffnya, sang kepala desa pun merenggut handphone itu dan melihatnya sendiri. Seketika ia pun ikut terbelalak setengah tak percaya.

Lalu ia rogoh saku celananya, ia keluarkan handphone miliknya sendiri dan ia buka tanggalannya. Dengan tangan gemetar, ia menemukan bahwa di tanggalan handphone-nya pun hanya ada hari Minggu, tanggal 6, dan bulan Februari. Dipencet dan direstart bagaimanapun, yang muncul tetap tanggal yang sama.

Sambil berusaha menenangkan diri, bapak kepala desa berkata lagi kepada segenap warga yang berkumpul pagi itu, « Ehem. Baiklah warga desa yang kucintai. Kalau tidak ada yang ingat kemarin hari apa, hal ini tidak jadi masalah. Toh kita bisa hidup terus tanpa penanggalan. Saya akan menghubungi kantor Kecamatan untuk melaporkan hal ini dan menanyakan hari ini hari apa dan tanggal berapa. Sekarang, silahkan semuanya pulang dan melanjutkan kegiatan keseharian seperti biasanya» Rapat desa dibubarkan. Orang-orang pun kembali ke dalam pelukan aktivitas sehari-hari.

***

Sulur kegemparan dengan pelan tapi pasti merambahi kantor Kecamatan C pada hari yang sama. Di ujung sulur itu adalah kepala desa U yang datang sendiri untuk melaporkan kejadian aneh di desanya. Mulanya laporan sang kepala desa ditanggapi biasa saja. « Paling salah cetak atau perbuatan orang iseng », kata staff Kecamatan. Tidak mungkin salah cetak, tangkis kepala desa. Sebab, kalender yang ada di kantor Kecamatan berasal dari percetakan dan sumbangan partai yang sama dengan kalender di kampungnya.

Untuk meyakinkan mereka, sang kepala desa pun menunjukkan kalender yang tadi pagi ia bawa dalam râpât desa. Betapa terkejutnya ia ketika mereka bertanya, «Apanya yang aneh, semuanya biasa saja ». Ia pun menyambut dengan tidak sabar kalendernya yang disorongkan kembali kepadanya. Dan terperangahlah ia tatkala menemukan bahwa semua tanggal yang ada seolah  menjadi normal kembali. « Tapi tadi pagi di desa tidak begini adanya ».

Ia pun mendesak untuk bertemu dengan Bapak Camat. Sedang râpât, jawab mereka singkat. Didorong oleh rasa takut untuk pulang tanpa membawa hasil, sang kepala desa pun meminta supaya ada beberapa orang dari Kecamatan yang sudi mampir ke desanya untuk melihat keadaan di sana. « Ayolah bapak-bapak, sebentar saja mampir dan melihat keadaan penduduk desa kami. Kunjungan terakhir dari Kecamatan kan pada saat pemilu kemarin », rayu kepala desa sambil menyodorkan amplop di bawah meja. Tanpa basa-basi lagi, dua orang staff Kecamatan meluncur ke desa U bersama sang kepala desa. Sebelum keluar, pak kepala desa merenggut sebuah kalender duduk dari atas meja.

Betapa terkejutnya orang-orang Kecamatan ini begitu menemukan kenyataan yang ada di desa U. Semua tanggalan mundur kembali ke hari, tanggal, dan bulan yang sama. Bahkan kalender yang dibawa pak kepala desa dari kantor Kecamatan pun sekarang ikut-ikutan bersikap tak wajar : semua harinya jadi hari Minggu, semua tanggalnya jadi tanggal 6, dan semua bulannya jadi bulan Februari. Bukan hanya di kalender cetak, di tanggalan handphone pun perilaku yang sama ditemukan juga.

Dengan panik, kedua perwakilan Kecamâtan ini menelpon minta segera dihubungkan dengan Bapak Camat. Menerima laporan orang-orang kepercayaannya, pak Camat langsung bertindak dengan menghubungi kantor Kabupaten P. Dari Kabupaten P sulur kegemparan merambah ke  Kantor Gubernur B ; dari Kantor Gubernur B terus menjalar ke pusat pemerintahan di Ibu Kota dan dari Ibu Kota ke penjuru dunia. Dalam beragam bahasa, kegemparan di desa U ditulis dengan kepala berita yang sama : Misteri desa U yang mengubah penunjuk waktu.

***

Sudah tiga hari ini desa U menjadi sorotan berita dunia. Kesibukan luar biasa stasiun radio-televisi nasional dan internasional nampak di sana. Mobil-mobil berantena parabola berjejer di muka jalan masuk ke desa U yang kini sudah mulus teraspal. Beragam juru Warta mancanegara berseliweran, berbaur dengan warga desa. Beberapa dari antara mereka datang dengan perlengkapan renang karena laut terletak hanya beberapa puluh kilometer dari desa U.

Kini, yang menjadi sumber berita bukan lagi semata perilaku kalender dan penanggalan yang berubah begitu memasuki desa U, tetapi ada fenomena baru : setiap jam entah itu arloji, jam dinding, atau jam di peralatan elektronik, semuanya serentak menunjuk ke waktu yang sama, yaitu 10.30 begitu memasuki desa U. Belum ada penjelasan ilmiah atas gejala ini.

Banyak pakar internasional datang untuk meneliti fenomena ini. Ada yang mencoba menghubungkannya dengan « Segita Bermuda » yang katanya menjadi pintu gerbang ke dimensi dan waktu yang berbeda. Ada pula yang menduga, kalau desa U adalah pusat daya magnet bumi yang membuat waktu tidak lagi bergerak maju. Tetapi bagaimana gaya magnetik ini dapat mengubah tanggal yang tercetak di kalender ? Bagaimana semuanya itu bisa menunjukkan waktu yang sama : pukul 10.30, hari Minggu, tanggal 6 Februari 2011, begitu orang masuk desa? Hal ini masih misteri.

Belum lagi terpecahkan misteri ini, tiba-tiba warga desa berhamburan keluar dari rumah. Sambil berlari tak tentu arah, mereka berseru-seru, « Darah, darah ! » Secara refleks, para juru warta segera mengambil catatan dan peralatan mereka untuk meliput fenomena kejutan ini. Dan sungguh mengerikan, dari setiap rumah merebak bau amis. Para juru Warta berlarian masuk dari rumah ke rumah dan menemukan hal yang sama : darah mengucur dari setiap jam dan kalender baik itu yang menempel di tembok atau yang berdiri nangkring di atas meja ; dari sana darah mengucur dan menjalar turun ke lantai. Tiada hentinya darah mengalir dan terus mengalir.

Belum reda riuh rendah para warga desa, terdengar jeritan seorang jurnalis perempuan. Dengan sikap jijik, jurnalis perempuan ini membuang arlojinya ke atas tanah karena dari arlojinya juga mengalir darah. Lalu jeritan demi jeritan silih berganti meloncat ke udara, sebab setiap peralatan yang punya penunjuk waktu, semuanya mengeluarkan darah : arloji, laptop, komputer, kamera, semuanya, mengeluarkan darah.

Ketika lupa meraja, waktu pun memberontak untuk menghadirkan kembali rintihan para korban yang begitu mudah diabaikan. Di desa U, waktu tak beranjak maju dari pukul 10.30, Minggu, 6 Februari 2011. Dari situ, darah telah mengalir…

Kenangan untuk 3 korban kerusuhan di desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten

TriantoSeverus

Paris, 16 Februari 2011