Pagi ini, kegemparan mengguncang desa U. Tanpa sebab, waktu berhenti pada hari Minggu tanggal 6 Februari 2011. Bolak-balik kalender dibuka, setiap lembarnya menunjukkan hari, tanggal, bulan, dan tahun yang itu-itu juga : Minggu 6 Februari 2011. Entah siapa yang pertama kali menemukannya, yang pasti gejala ajaib ini telah menyebar dan meresahkan seluruh warga desa. Segera tanda berkumpul diadakan. Bunyi kentongan pun susul menyusul, menjalar ke setiap rumah. Seperti dipecut oleh bunyi kentongan yang memecah udara, satu persatu warga keluar rumah untuk berduyun-duyun pergi dan berkumpul di Balai Desa.
Dalam waktu singkat, gelombang orang yang datang tidak saja segera memenuhi Balai Desa yang sempit itu tetapi bahkan meluber sampai ke jalanan. Ketika bunyi kentongan sudah luruh dari udara, masuklah kepala desa U dengan baju safari dan kopiah di kepala ditemani oleh beberapa orang stafnya. Sambil menyeka keringat di dahinya dengan sehelai sapu tangan, sang kepala desa mulai berbicara untuk meredam kegelisahan warganya : « Warga desa U yang saya kasihi. Saya kira, kita semua tahu, kenapa kentongan dibunyikan di awal hari seperti ini. Saya lihat di tangan saudara sekalian yang hadir di sini, ada kelender yang biasanya dipasang di dinding ruang tamu atau kamar tidur kita. Saya juga bawa kalender yang sama, seperti yang para saudara punya. »
Sambil berkata demikian, dengan tangan kanannya sang kepala desa mengangkat tinggi-tinggi lembaran kalender dengan foto para tokoh dan gambar lambang partai tertentu di dalamnya. « Pagi ini saya pun terkejut begitu istri saya memberitahu saya bahwa di dalam kalender yang sedang saya pegang ini hanya ada angka 6 di setiap tanggalnya dan hari Minggu di setiap harinya serta setiap lembarnya hanya menunjukkan bulan Februari. Padahal kemarin kalender ini masih normal-normal saja. » Sejurus beberapa orang mulai membolak-balik kalender yang mereka bawa.
« Apa arti semuanya ini? » Kepala desa diam sejenak, untuk memberi bobot kepada jawaban atas pertanyaannya sendiri. Lalu, ia melanjutkan, « Kalau pagi ini kalender yang kita punya bertingkah tidak wajar, padahal kemarin biasa-biasa saja, artinya kesalahan bukan terletak pada percetakan yang membuat kalender ini, apalagi pada partai yang telah membagikannya kepada kita secara cuma-cuma. Jadi, jangan salahkan keduanya. Mengerti ? » Setiap kepala pun mengangguk-angguk tanda mengerti. « Dan lagi », tambah bapak kepala desa, « Yang bertingkah aneh bukan cuma kalender dari partai ABC ini. Kalender anak saya yang gambarnya klub sepak bola mancanegara juga mengalami hal yang sama ». Kembali beberapa orang, kali ini yang lebih muda, membolak-balik kalender yang mereka bawa.
« Lalu, apa yang bisa kita buât sekarang? Yang bisa kita buât adalah, mari, kita buât sendiri tanggalan di rumah kita. Kita ingat kembali kemarin itu hari apa dan tanggal berapa untuk bisa menentukan hari ini hari apa. Ada yang ingat, kemarin hari apa dan tanggal berapa ? » Setiap orang saling memandang. Tidak ada jawaban. Hanya gumaman seperti bunyi lebah yang sampai ke telinga bapak kepala desa.
Setengah berbisik, ia bertanya kepada seorang staff yang berdiri di sampingnya, « Jang, kemarin tanggal berapa ? » Spontan si staff mencoba mencari jawab dengan melihat kalender yang ia bawa. Dengan sedikit geram, kapak Kepala desa menegur, « Jangan lihat kalender lagi, bodoh. Di situ tanggalnya sama semua. Lihat di handphonemu, pikun ». Merasa grogi ditegur keras oleh atasannya, dengan tangan gemetar ia keluarkan handphone dari saku celananya dan membuka penanggalan di sana. Apa yang ia lihat membuat matanya terbelalak. Melihat gelagat aneh staffnya, sang kepala desa pun merenggut handphone itu dan melihatnya sendiri. Seketika ia pun ikut terbelalak setengah tak percaya.
Lalu ia rogoh saku celananya, ia keluarkan handphone miliknya sendiri dan ia buka tanggalannya. Dengan tangan gemetar, ia menemukan bahwa di tanggalan handphone-nya pun hanya ada hari Minggu, tanggal 6, dan bulan Februari. Dipencet dan direstart bagaimanapun, yang muncul tetap tanggal yang sama.
Sambil berusaha menenangkan diri, bapak kepala desa berkata lagi kepada segenap warga yang berkumpul pagi itu, « Ehem. Baiklah warga desa yang kucintai. Kalau tidak ada yang ingat kemarin hari apa, hal ini tidak jadi masalah. Toh kita bisa hidup terus tanpa penanggalan. Saya akan menghubungi kantor Kecamatan untuk melaporkan hal ini dan menanyakan hari ini hari apa dan tanggal berapa. Sekarang, silahkan semuanya pulang dan melanjutkan kegiatan keseharian seperti biasanya» Rapat desa dibubarkan. Orang-orang pun kembali ke dalam pelukan aktivitas sehari-hari.
***
Sulur kegemparan dengan pelan tapi pasti merambahi kantor Kecamatan C pada hari yang sama. Di ujung sulur itu adalah kepala desa U yang datang sendiri untuk melaporkan kejadian aneh di desanya. Mulanya laporan sang kepala desa ditanggapi biasa saja. « Paling salah cetak atau perbuatan orang iseng », kata staff Kecamatan. Tidak mungkin salah cetak, tangkis kepala desa. Sebab, kalender yang ada di kantor Kecamatan berasal dari percetakan dan sumbangan partai yang sama dengan kalender di kampungnya.
Untuk meyakinkan mereka, sang kepala desa pun menunjukkan kalender yang tadi pagi ia bawa dalam râpât desa. Betapa terkejutnya ia ketika mereka bertanya, «Apanya yang aneh, semuanya biasa saja ». Ia pun menyambut dengan tidak sabar kalendernya yang disorongkan kembali kepadanya. Dan terperangahlah ia tatkala menemukan bahwa semua tanggal yang ada seolah menjadi normal kembali. « Tapi tadi pagi di desa tidak begini adanya ».
Ia pun mendesak untuk bertemu dengan Bapak Camat. Sedang râpât, jawab mereka singkat. Didorong oleh rasa takut untuk pulang tanpa membawa hasil, sang kepala desa pun meminta supaya ada beberapa orang dari Kecamatan yang sudi mampir ke desanya untuk melihat keadaan di sana. « Ayolah bapak-bapak, sebentar saja mampir dan melihat keadaan penduduk desa kami. Kunjungan terakhir dari Kecamatan kan pada saat pemilu kemarin », rayu kepala desa sambil menyodorkan amplop di bawah meja. Tanpa basa-basi lagi, dua orang staff Kecamatan meluncur ke desa U bersama sang kepala desa. Sebelum keluar, pak kepala desa merenggut sebuah kalender duduk dari atas meja.
Betapa terkejutnya orang-orang Kecamatan ini begitu menemukan kenyataan yang ada di desa U. Semua tanggalan mundur kembali ke hari, tanggal, dan bulan yang sama. Bahkan kalender yang dibawa pak kepala desa dari kantor Kecamatan pun sekarang ikut-ikutan bersikap tak wajar : semua harinya jadi hari Minggu, semua tanggalnya jadi tanggal 6, dan semua bulannya jadi bulan Februari. Bukan hanya di kalender cetak, di tanggalan handphone pun perilaku yang sama ditemukan juga.
Dengan panik, kedua perwakilan Kecamâtan ini menelpon minta segera dihubungkan dengan Bapak Camat. Menerima laporan orang-orang kepercayaannya, pak Camat langsung bertindak dengan menghubungi kantor Kabupaten P. Dari Kabupaten P sulur kegemparan merambah ke Kantor Gubernur B ; dari Kantor Gubernur B terus menjalar ke pusat pemerintahan di Ibu Kota dan dari Ibu Kota ke penjuru dunia. Dalam beragam bahasa, kegemparan di desa U ditulis dengan kepala berita yang sama : Misteri desa U yang mengubah penunjuk waktu.
***
Sudah tiga hari ini desa U menjadi sorotan berita dunia. Kesibukan luar biasa stasiun radio-televisi nasional dan internasional nampak di sana. Mobil-mobil berantena parabola berjejer di muka jalan masuk ke desa U yang kini sudah mulus teraspal. Beragam juru Warta mancanegara berseliweran, berbaur dengan warga desa. Beberapa dari antara mereka datang dengan perlengkapan renang karena laut terletak hanya beberapa puluh kilometer dari desa U.
Kini, yang menjadi sumber berita bukan lagi semata perilaku kalender dan penanggalan yang berubah begitu memasuki desa U, tetapi ada fenomena baru : setiap jam entah itu arloji, jam dinding, atau jam di peralatan elektronik, semuanya serentak menunjuk ke waktu yang sama, yaitu 10.30 begitu memasuki desa U. Belum ada penjelasan ilmiah atas gejala ini.
Banyak pakar internasional datang untuk meneliti fenomena ini. Ada yang mencoba menghubungkannya dengan « Segita Bermuda » yang katanya menjadi pintu gerbang ke dimensi dan waktu yang berbeda. Ada pula yang menduga, kalau desa U adalah pusat daya magnet bumi yang membuat waktu tidak lagi bergerak maju. Tetapi bagaimana gaya magnetik ini dapat mengubah tanggal yang tercetak di kalender ? Bagaimana semuanya itu bisa menunjukkan waktu yang sama : pukul 10.30, hari Minggu, tanggal 6 Februari 2011, begitu orang masuk desa? Hal ini masih misteri.
Belum lagi terpecahkan misteri ini, tiba-tiba warga desa berhamburan keluar dari rumah. Sambil berlari tak tentu arah, mereka berseru-seru, « Darah, darah ! » Secara refleks, para juru warta segera mengambil catatan dan peralatan mereka untuk meliput fenomena kejutan ini. Dan sungguh mengerikan, dari setiap rumah merebak bau amis. Para juru Warta berlarian masuk dari rumah ke rumah dan menemukan hal yang sama : darah mengucur dari setiap jam dan kalender baik itu yang menempel di tembok atau yang berdiri nangkring di atas meja ; dari sana darah mengucur dan menjalar turun ke lantai. Tiada hentinya darah mengalir dan terus mengalir.
Belum reda riuh rendah para warga desa, terdengar jeritan seorang jurnalis perempuan. Dengan sikap jijik, jurnalis perempuan ini membuang arlojinya ke atas tanah karena dari arlojinya juga mengalir darah. Lalu jeritan demi jeritan silih berganti meloncat ke udara, sebab setiap peralatan yang punya penunjuk waktu, semuanya mengeluarkan darah : arloji, laptop, komputer, kamera, semuanya, mengeluarkan darah.
Ketika lupa meraja, waktu pun memberontak untuk menghadirkan kembali rintihan para korban yang begitu mudah diabaikan. Di desa U, waktu tak beranjak maju dari pukul 10.30, Minggu, 6 Februari 2011. Dari situ, darah telah mengalir…
Kenangan untuk 3 korban kerusuhan di desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten
TriantoSeverus
Paris, 16 Februari 2011