Arsip Kategori: Teologi

Kitab Suci: kata-kata manusiawi dan ilahi

Sebagaimana tercermin dari namanya, Kitab Suci memiliki dua segi yang saling berkaitan, yaitu segi manusiawi sebagaimana terkandung dari kata ‘kitab’ dan segi ilahi sebagaimana tercermin dari kata ‘suci’.

Sebuah buku berjudul Kitab Suci

Sebagai kitab atau buku, Kitab Suci berdimensi manusiawi karena beberapa alasan. Pertama-tama, Kitab Suci adalah sebuah benda nyata yang dapat kita lihat, kita raba, kita genggam, kita cium. Singkat kata, Kitab Suci menjadi objek yang berada di dalam genggaman kita.

Kitab Suci berdimensi manusiawi juga karena ia tampil sebagai sebuah objek tertentu yang kita kenal sebagai buku. Seperti buku-buku lainnya, Kitab Suci adalah cara dan sekaligus sarana komunikasi. Tujuan setiap komunikasi adalah terciptanya kebersamaan (communio) berkat pemahaman yang sama. Agar tujuan tersebut tercapai, setiap buku, termasuk Kitab Suci, menggunakan bahasa manusia, yaitu bahasa yang dapat dipahami oleh sekelompok orang dalam jaman dan budaya tertentu. Singkat kata, Kitab Suci ditulis untuk dipahami manusia dan karena itu ia menggunakan bahasa manusia.

Sebagai sarana komunikasi antar manusia, Kitab Suci ditulis oleh manusia untuk manusia-manusia lainnya. Sebagai buku, bahasa yang digunakan oleh Kitab Suci adalah bahasa tulis. Maka, ketika membaca Kitab Suci, kita berhadapan pertama-tama dengan tulisan, yaitu huruf yang bersatu menjadi kata, kata-kata yang kita lihat berjejeran membentuk kalimat dan kalimat berbaris membentuk alinea dan kumpulan alinea yang membentuk bab dst. Semuanya itu kita lihat. Kita tidak mendengarkan kata-kata pengarang. Kita tidak mendengarkan penjelasan penulis Kitab Suci. Kita membaca apa yang ada di depan mata kita, yaitu kata-kata tertulis.

Namun demikian, kita mengenal istilah yang tersurat dan yang tersirat. Yang tersurat adalah kata-kata yang tertulis, yang nyata, yang dapat kita tunjuk karena kata itu ada di sana. Yang tersirat adalah maksud dari kata-kata tersebut atau apa yang mau disampaikan oleh mereka. Yang tersirat tidak dapat kita tunjuk sebab ia tidak kelihatan; ia ada di kepala kita sebagai gambaran yang muncul berkat kata-kata yang tertulis, berkat yang tersurat.

Misalnya, kita membaca tulisan, ‘malam’. Yang kita baca adalah yang tersurat, yaitu jejeran huruf m-a-l-a-m. Akan tetapi, tulisan ‘malam’ menciptakan bayangan di benak kita yang jauh lebih kaya dari jejeran huruf semata. Itulah yang tersirat.

Masalahnya adalah bayangan yang kita punya tidak selamanya sama dengan gambaran yang dimiliki oleh orang-orang yang sezaman dengan penulis Kitab Suci. Misalnya, kita mungkin akan heran, mengapa kata ‘salib’ begitu jarang muncul di dalam Kitab Perjanjian Baru. Total jenderal, kata ‘salib’ hanya muncul 27 kali dalam seluruh PB. Mengapa?

Karena, bagi orang di jaman itu, kata salib adalah kata yang tabu untuk diucapkan sebab istilah salib menimbulkan gambaran yang terlalu kejam, sadis: tubuh manusia terhukum, telanjang, terpancang di kayu, dibiarkan mati tersiksa dan bangakinya tergantung di sana menjadi santapan burung.

Sebaliknya, untuk orang jaman sekarang, kadar skandal dan kengerian yang muncul dari kata ‘salib’ sudah jauh berkurang. Kita menemukan patung salib di banyak tempat, tergantung di gedung gereja, di kamar kita. Bahkan, salib menjadi perhiasan atau aksesoris bagi siapa saja yang mau mengenakannya.

Inilah alasan terakhir mengapa, sebagai buku, Kitab Suci berdimensi manusiawi: ada jarak antara jaman di mana kita berada dan jaman ketika Kitab Suci ditulis. Segala yang manusiawi dibatasi ruang dan waktu. Demikian juga Kitab Suci. Ia datang dari waktu tertentu, dari komunitas tertentu, yang berbeda budaya dan bahasanya dengan jaman kita.

Kitab Suci: buku umat beriman

Kitab Suci hanya akan menjadi sebuah buku di antara jejeran buku lainnya kalau kita tidak menggali arti kata sifat suci yang melekat padanya. Kitab Suci berdimensi manusiawi sekaligus ilahi. Ia memang buku tetapi buku suci. Mengapa?

Karena Kitab Suci lahir dari dan di dalam komunitas orang beriman. Imanlah yang membuat Kitab Suci yang kita miliki bersifat ilahi. Membaca Kitab Suci dengan mata iman berarti percaya bahwa Allah berbicara kepada setiap orang beriman yang membaca Kitab Suci melalui sarana manusiawi, yaitu sebuah buku, sebuah kitab. Kita bisa membaca secara demikian karena kita tumbuh dalam sebuah komunitas beriman. Kitab Suci bukanlah buku pribadi. Ia buku jemaat, buku komunitas. Maka hanya berkat belajar dari komunitas beriman, Kitab Suci menjadi suci, artinya menjadi sarana komunikasi tidak saja antar manusia tetapi juga antara Allah dan manusia.

Dengan demikian, Kitab Suci mengandung kata-kata manusia sekaligus kata-kata Allah. Bagaimana bisa memahaminya?

Bagian-bagian berikutnya akan mengupas jawabannya langkah demi langkah.

Seri Kosa Kata Kristen (Bapa-bapa Apostolik): Liturgi

la_communaute_III_5

Yunani Klasik:

Istilah liturgi berasal dari Yunani Klasik, LEITOURGIA, yang berarti fungsi publik atau umum. Fungsi publik meliputi banyak bidang seperti administrasi, pertunjukan teater dan juga upacara keagamaan. Kata kerja yang berhubungan dengan fungsi publik ini adalah LEITOURGEO yang berarti menjalankan fungsi publik, melayani. Sementara itu, orang yang menjalankannya disebut LEITOURGOS (Laos: rakyat, orang banyak – Ergon: kerja, kegiatan).

Perjanjian Baru:

Dalam Injil, istilah liturgi hanya disebutkan satu kali (Lk 1:23: “Ketika selesai jangka waktu tugas jabatannya (leiturgias), ia pulang ke rumah”). Istilah tugas jabatan dalam Lk 1:23 merujuk pada pelayanan imamat Zakaria. Dalam Kisah Para Rasul, istilah yang berkenaan dengan liturgi juga disebutkan satu kali ( Kis 13:2: Pada suatu hari ketika mereka beribadah (leitourgounton) kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus:”Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagiKu untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka”). Dalam surat-surat, kata liturgi punya tiga makna berbeda:

  • kata liturgi paling sering dikaitkan dengan pelayanan dalam upacara keagamaan. Surat kepada umat Ibrani paling sering menggunakan istilah liturgi dalam arti ini (enam kali).
  • makna ‘profan’ kata liturgi digunakan dalam surat rasula Paulus kepada jemaat di Roma (Rom 13:6: Itulah sebabnya kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan (leitourgoi)  Allah). Pelayan-pelayan yang dimaksud di sini adalah para pejabat publik Roma.
  • dalam beberapa kasus, istilah liturgi berkenaan dengan pelayanan umum yang dilaksanakan dengan semangat kasih (contohnya 2 Korintus 9:12: Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian (leiturgias) ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah). Nampak di sini bagaimana istilah umum yang kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari diberi nilai rohani sesuai dengan iman Kristen.

Dalam Surat-surat par Bapa Apsotolik:

Dalam tulisan para Bapa Apostolik, istilah liturgi hanya memiliki makna rohani. Surat Gembala Hermas menggunakan istilah liturgi dalam maknanya yang paling luas, yaitu segala tindakan baik bagi kemuliaan Tuhan. Didake menyebut dua kata yang berkenaan dengan liturgi: Pilihlah di antara kalian para uskup dan diakon yang akan melayani kalian segala pelayanan yang dibuat para nabi dan doktor. Dalam teks tersebut, istilah liturgi menyangkut pelayanan yang dapat dijalankan oleh mereka yang dipilih oleh Tuhan. Surat Clemens dari Roma menggunakan istilah liturgi sebanyak 17 kali. Dalam banyak kasus, istilah ini berkenaan dengan pelayanan altar yang berkaitan dengan tugas seorang imam. Dalam kasus lainnya, istilah liturgi juga menyangkut tugas mereka yang dipilih Tuhan untuk menggembalakan domba-domba. Namun demikian, secara keseluruhan, surat dari Clemens mengundang para pembacanya untuk memaknai liturgi sebagai “tugas pelayanan paling agung”, yaitu melantunkan kemuliaan Tuhan dan mengenalkan Tuhan kepada manusia.

Kesimpulan:

Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, jemaat Gereja Perdana memberi makna rohani pada istilah liturgi (yang aslinya menyangkut petugas masyarakat dan pelaksanaannya). Dalam bahasa latin, istilah liturgi diambil dari kata bendanya, LEITURGIA, menjadi liturgia, yaitu pelayanan bagi Allah dan manusia.

Bagi kita: dari sejarahnya, istilah liturgi tidak dapat dipisahkan dari pelayanan bagi kemuliaan Tuhan dan sesama. Istilah liturgi yang sekarang terbatas pada “pelayanan seputar altar” tetap tidak terpisahkan dari semangat dan amal kasih karena Allah yang dilayani dalam perayaan liturgis adalah Allah yang mengasihi manusia. Kasih pada Allah di seputar altar diteruskan dalam kasih pada Allah dalam diri sesama, khususnya yang serba kekurangan. Semangat para petugas liturgi pun, dengan demikian, bukan hanya semangat memenuhi aturan baku upacara tetapi semangat menularkan kasih agar Allah dapat lebih dikenal sebagai Bapa semua orang.

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Paris, Senin, hari kelima dalam Oktav Natal, 29 Desember 2014

Seri Kosa Kata Kristen (Bapa-bapa Apostolik): Paroki

Molnár_Ábrahám_kiköltözése_1850

Dengan seri ini, saya hendak sedikit mendalami kekayaan rohani yang terkandung dalam istilah-istilah Gereja yang begitu biasa terdengar dan digunakan. Sengaja diambil sebuah kurun waktu dalam sejarah Gereja (antara tahun 80-150) yang oleh para ahli biasa dinamai masa Para Bapa Apostolik. Mereka ini adalah orang-orang yang mengenal secara pribadi para rasul yang mengikuti Tuhan Yesus tetapi tidak termasuk dalam bilangan para rasul itu. Mereka meneruskan kepada generasi berikutnya apa yang diterima dari para rasul .

Itulah sebabnya mengapa para Bapa Apostolik menjadi begitu penting: mereka seperti menjadi jembatan yang menghubungkan antara “para saksi mata dan saksi telinga” yang melihat, mendengar dan menyentuh sendiri Sang Sabda yang menjadi daging dan generasi berikutnya yang tidak mengenal secara langsung Yesus dari Nazaret yang diimani sebagai Guru dan Tuhan. Oleh karena itu, tulisan-tulisan para Bapa Apostolik mencerminkan suatu peralihan, suatu proses bernarasi tentang Gereja sebagai persekutuan rohani yang hidup dari Roh Yesus sendiri. Gereja berjuang untuk mampu berkisah tentang identitas dirinya: dia bukanlah sebuah sekte Yahudi tetapi bukan juga bagian dari agama-agama Timur yang merebak di wilayah kekaisaran Romawi. Gereja harus menemukan jati dirinya sendiri berdasarkan ajaran Tuhannya.

Istilah-istilah yang coba dikuak maknanya dalam seri ini memperlihatkan proses itu. Bagaimana kata-kata Yunani kemudian diambil alih dan mengalami perubahan makna yang memancarkan kekayaan iman Gereja. Gereja tidak menciptakan istilah-istilah itu. Gereja menerimanya dari pihak lain dan mengolahnya sesuai dengan dinamika relasinya dengn Roh Yesus.

Kita mulai dari kata yang begitu dekat dengan kehidupan menggeraja kita sehari-hari: Paroki.

Bahasa Yunani Klasik:

Dalam Yunani Klasik, kata paroki berasal dari sebuah kata kerja PAROIKEIN yang berarti “tinggal di dekat” atau “tinggal di antara.”

Kitab Suci Yahudi Berbahasa Yunani (Septuaginta):

Septuaginta mengambil alih kata kerja PAROIKEIN untuk mengungkapkan situasi Abraham sebagai pengembara baik ketika tinggal di Mesir, di padang gurun, di tengah-tengah bangsa Filistin, maupun di Tanah Terjanji (Kej. 12, 10; 15,13; 20,1; 21,23; 23,4). Abraham tidak berada di tanahnya sendiri. Ia tinggal sebagai pengembara, sebagai orang asing (“ger” dalam bahasa Ibrani). Dengan demikian, PAROIKEIN dalam Yunani Klasik (yang berarti kurang lebih “bertetangga”) mendapat makna baru yang secara khusus terkait dengan pengalaman rohani Abraham dan keturunannya, yaitu bahwa bangsa pilihan Allah “tinggal sebagai orang asing” di muka bumi ini.

Perjanjian Baru:

Surat kepada umat Ibrani menggunakan istilah ini (Ibr 11,9) ketika menggambarkan situasi Abraham sebagai orang asing di muka bumi (Ibr 11, 8-16). Dalam Kisah Para Rasul (Kis 7,6,29), Stefanus mengingatkan bahwa keturunan Abraham “tinggal di tanah asing” dan bahwa Musa “menetap di tanah bangsa Median.” Surat Petrus pertama (IPet 2,11)menyebutkan bahwa para murid Yesus adalah “orang-orang asing dan pengembara” (Lihat juga Kis 13,17; Ef. 2,19; IPet 1,17).

Tulisan para Bapa Apostolik:

Dalam sebuah Kotbah dari abad kedua, PAROIKEIN berarti “tinggal di bumi ini”. Tiga tulisan (Surat Clemens, Surat Polycarpus kepada umat di Filipi, dan Kemartiran Polycarpus) menggunakan kata PAROIKEIN dengan makna yang sama. Istilah ini senantiasa digunakan dalam hubungannya dengan Gereja, bahkan setiap kali sebuah Gereja lokal disebutkan, kata kerja PAROIKEIN yang berarti “tinggal sebagai orang asing” dipakai.

Dengan demikian, Gereja lokal (baik itu Gereja Roma, Korintus, Philipi, Smirne atau pun Philomelium) senantiasa bersifat nomaden atau berada dalam pengembaraan, pembuangan, serba kekurangan, meskipun Gereja tersebut sudah menetap mantab teratur di tengah kota (Lihat Surat Gembala Hermas). Gereja tidak tinggal terikat dengan kota duniawi tetapi seperti Abraham dalam peziarahan menuju dunia yang lebih baik.

Dalam waktu singkat, pada masa itu orang tidak lagi menggunakan kata kerja PAROIKEIN (“menetap sebagai orang asing/pengembara”) tetapi mulai digunakan kata bendanya, yaitu PAROIKIA (pengembara) di tempat tertentu.

Versi latinya, “parochia” kurang menggemakan nuansa nomaden atau pengembaraan sebagaimana terkandung dalam istilah Yunani Septuaginta, Perjanjian Baru maupun tulisan para Bapa Gereja. Kita perlu selalu mengingat bahwa : “Setiap tanah air adalah tanah asing bagi orang-orang Kristen dan setiap tanah asing adalah tanah air mereka” (Surat Kepada Diognetus).

(Sumber: Dominique Bertrand SJ (introduction), Les Ecrits des Pères Apostoliques, Paris Cerf 1990)

Lebih Akrab dengan Konsili Vatikan II: Klasifikasi Dokumen-dokumen Konsili

Des-images-inedites-du-concile-Vatican-II-seront-bientot-revelees_article_popin

Dalam rentang 50 tahun, Konsili Vatikan II masih menjadi tonggak sejarah terbesar dalam peziarahan Gereja. Namun demikian, banyak kalangan masih mengalami kesulitan untuk dapat memahami keagungan sejarah tersebut.

Salah satu kendala utamanya adalah kesulitan untuk mengenali dan memahami teks-teks konsili yang terbilang tidak sedikit tersebut dan hubungan antara teks yang satu dan teks lainnya. Tanpa adanya satu upaya pengelompokkan, teks-teks Konsili laksana dokumen-dokumen hukum tebal yang terpencar-pencar; jangankan memahami, mengenal nama setiap teksnya saja sudah kewalahan.

Artikel sederhana ini hendak menwarkan satu pengelompokkan teks-teks tersebut hingga lebih mudah dikenali dan dipahami hubungan antar teksnya. Pengelompokkan yang dipaparkan di sini diambil dari gagasan seorang teolog sekaligus ahli sejarah Gereja dari Perancis, Christoph Theobald, yang mengajar di centre Sevres, fakultas filsafat dan teologi Jesuit di Paris.

4 dokumen Utama: Konstitusi

Tidak setiap dokumen Konsili memiliki nilai yuridis dan doctrinal yang sama. Dari seluruh dokumen, hanya 4 dokumen yang diberi ‘label’ Konsitusi (undang-undang dasar) artinya sangat penting karena menentukan arah perjalanan Gereja selanjutnya. Ada dua konsitusi dogmatis: konstitusi tentang Gereja (Lumen Gentium) dan tentang Perwahyuan Ilahi (Dei Verbum); satu konstitusi tentang liturgi (Sacro sanctum Concilium) dan satu konstitusi pastoral tentang Gereja dalam dunia (Gaudium et Spes).

Ada satu cara yang dapat membantu agar keempat dokumen ini tidak mudah lenyap dari ingatan: 4 konstitusi Konsili Vatikan II terdiri dari 2 Konstitusi tentang Gereja (LG dan GS) yang membingkai konstitusi tentang perwahyuan dan liturgi.

9 dokumen yang menegaskan dan mengembangkan konstitusi: Dekrit

Secara yuridis, ke 9 dokumen ini menempati ‘level’ lebih rendah dari 4 konsitusi di atas. Dekrit-dekrit ini diluncurkan untuk membantu menerjemahkan ke 4 konstitusi tadi ke dalam reformasi Gereja sesuai semangat Konsili Vatikan II. Maka, pembacaan dan penafsiran ke 9 dekrit ini selalu merujuk pada 4 konstitusi sebagai dokumen utama.

Agar lebih mudah mengenal dan mengingat dokumen-dokumen tersebut, 9 dekrit ini dibagi ke dalam dua kategori: 5 dekrit yang berkaitan dengan status hidup anggota-anggota Gereja (uskup, imam, pendidikan para imam, hidup membiara, dan kerasulan awam) dan 4 dekrit yang berkaitan dengan hubungan internal maupun eksternal Gereja (kegiatan misi, ekumene, Gereja Timur, komunikasi sosial).

5 dekrit yang berkaitan dengan status hidup anggota-anggota Gereja itu adalah dekrit tentang: para uskup (Christus Dominus), para imam (Presbyterorum Ordinis), pendidikan para imam (Optatam totius Ecclesiae renovationem), hidup membiara (Perfectae caritatis), dan kerasulan awam (Apostolicam actuositatem).

4 dekrit yang berkaitan dengan hubungan internal dan eksternal Gereja adala dekrit tentang: kegiatan misi Gereja (Ad Gentes divinitus), ekumenisme (Unitatis redintegratio), Gereja-gereja Timur (Orientalium Ecclesiarum), dan sarana komunikasi sosial (Inter mirifica).

3 dokumen tentang keadaan aktual: Deklarasi atau Pernyataan

 Tiga dokumen terakhir dapat digolongkan sebagai dokumen-dokumen yang membahas kenyataan-kenyataan baru dan aktual, yaitu: tentang kebebasan beragama (Dignitatis humanae), relasi dengan agama-agama non-kristen (Nostra aetate), dan tentang pendidikan kristen (Gravissimum educationis).

Satu contoh

Pengelompokkan di atas, diharapkan, mempermudah orang untuk mengenal setiap teks dan hubungan antar teks Konsili Vatikan II. Hal ini sangat membantu terutama dalam membaca dan menafsirkan ajaran yang terkandung di dalam teks-teks tersebut.

Sebagai contoh: dalam Lumen Gentium 8, terdapat pernyataan yang berbunyi demikian:

“Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya, walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.”

Perhatikan kata, berada dalam (subsistit in). Awalnya, komisi yang menyiapkan dokumen tentang Gereja memilih menggunakan kata adalah (est); jadi mulanya dokumen tersebut berbunyi demikian: Gereja itu (satu-satunya Gereja Kristus) adalah Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para uskup (…).

Sebagian orang menafsirkan pergantian istilah tersebut tidak mengganti isi dokumen yang sudah disiapkan komisi. Entah menggunakan istilah “berada dalam” (subsistit in) atau menggunakan istilah “adalah” (est), artikel 8 LG hendak menyatakan bahwa Gereja Kristus identik sepenuhnya dengan Gereja Katolik. Kalau penafsiran ini yang diambil, maka komunitas-komunitas lain yang tidak bergabung secara eksplisit dengan Gereja Katolik bukanlah Gereja, bukan tubuh Kristus; sebab satu-satunya yang berhak disebut tubuh Kristus, Gereja Kristus, adalah Gereja Katolik.

Di sisi lain, ada pihak yang menafsirkan bahwa penggantian istilah tersebut mengubah makna dokumen. Dengan menerapkan istilah “berada dalam”, para Bapa Konsili mengajarkan bahwa Gereja Kristus memang ditemukan di dalam Gereja Katolik tetapi misteri Gereja Kristus tersebut tidak dapat diungkapkan sepenuh-penuhnya oleh Gereja Katolik. Dengan demikian, Gereja Katolik ambil bagian dalam misteri Gereja Kristus, tetapi Gereja Kristus tetap jauh lebih luas dan lebih dalam daripada Gereja Katolik. Dengan demikian, komunitas-komunitas lain di luar Gereja Katolik tetap dapat disebut Gereja dan ambil bagian dalam Gereja Kristus. Gereja Katolik tidak memonopoli unsur-unsur pengudusan dan keselamatan yang ditawarkan Kristus melalui tubuhNya, yaitu GerejaNya.

Penafsiran mana yang benar?

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, konstitusi sebagai dokumen dasar ditegaskan, dijelaskan, dan dikembangkan oleh dokumen-dokumen lainnya, yaitu oleh dekrit dan deklarasi. Maka, penafsiran LG 8 pun perlu memperhatikan penjelasan yang ditemukan dalam dokumen-dokumen lainnya. Dalam hal ini, dekrit tentang ekumene (UR) perlu diperhatikan. Mengapa dekrit tentang ekumene? Karena ketika meresmikan LG, Paus Paulus VI secara eskplisit menyatakan bahwa: “Ajaran tentang Gereja ini (LG) (…) dilengkapi oleh dekrit tentang ekumene yang juga diresmikan oleh Konsili.”

Secara khusus, UR 3 menyatakan:

“Kecuali itu, dari unsur-unsur atau nilai-nilai, yang keseluruhannya ikut berperanan dalam pembangunan serta kehidupan Gereja sendiri, beberapa bahkan banyak sekali yang sangat berharga, yang dapat ditemukan diluar kawasan Gereja katolik yang kelihatan: Sabda Allah dalam Kitab suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah. Itu semua bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, dan memang selayaknya termasuk gereja Kristus yang tunggal.”

Dengan demikian, misteri Gereja Kristus memang ditemukan di dalam Gereja Katolik tetapi misteri tersebut jauh lebih luas dari batas-batas Gereja Katolik yang kelihatan. Unsur-unsur pengudusan dan keselamatan Gereja Kristus juga dapat ditemukan di dalam komunitas-komunitas Kristen lainnya. Tugas umat Katolik adalah: semakin mengenali dan mensyukuri unsur-unsur pengudusan dan keselamatan dalam Gereja Katolik dalam dialog dengan komunitas-komunitas murid Yesus Kristus lainnya dan juga dengan umat beragama non-Kristen. Sebab, hanya dengan dialog dan keterbukaan, orang dapat mengenal jati dirinya. Prinsip yang sama berlaku juga dalam Gereja.

Paris, Kamis 21 Maret 2013

Makna Istilah Tanda-tanda zaman dalam Gaudium et Spes (1)

 

 

 

 

 

 

 

Pendahuluan (*)

Pernah ada suatu masa ketika istilah Tanda-tanda zaman sempat membanjiri percakapan, pengajaran, seminar dan diskusi yang ada kaitannya dengan panggilan Gereja di dalam dunia. Jejak ketenaran istilah yang melekat erat dengan konstitusi pastoral Vatikan II, Gaudium et Spes, itu masih dapat ditemukan dalam majalah kebudayaan Basis. Oleh penggagasnya, yaitu Romo Dick Hartoko, kolom Editorial Basis diberi judul Tanda-tanda zaman atau biasa disingkat TTZ. Kalau tidak salah, judul itu masih dipertahankan sampai saat ini.

Dari sudut pandang sejarah, istilah Tanda-tanda zaman (signa temporum, latin) masuk ke dalam perbendaharaan kosa kata konsiliar berkat Paus Yohanes XXIII yang mempopulerkannya lewat ensikliknya Pacem in terris dan bulla Humanae Salutatis.

Mungkin belum banyak pihak yang mengetahui bahwa statistik penggunaan istilah Tanda-tanda zaman dalam dokumen Konsili Vatikan II tidak sebanding dengan tingkat popularitasnya. Dalam kenyataannya, istilah tersebut hanya digunakan satu kali dalam seluruh dokumen Konsili Vatikan II, yaitu dalam artikel 4 konsititusi pastoral Gaudium et Spes. Beberapa dokumen lainnya memang menggunakan istilah yang sama tetapi pengertian yang dikandungnya berbeda (**).

Maka, pertanyaannya sekarang adalah: pesan apa yang dibawa oleh istilah Tanda-tanda zaman yang nampaknya semakin lama semakin jarang digunakan itu? Apakah masih terbuka pintu harapan bagi kembalinya salah satu kosa paling khas dari Konsili Vatikan II dalam percakapan Gerejawi?

Undangan untuk merenungkan kembali istilah Tanda-tanda zaman ini merupakan bentuk sederhana untuk mengenang pesta emas dibukanya konsili ekumenis terbesar dalam sejarah Gereja (dihadiri lebih dari 2000 uskup dari seluruh dunia dan ratusan teolog dari dalam maupun luar Gereja Roma Katolik).

Dua Penafsiran

Kalau membatasi diri pada dokumen Gaudium et Spes, kita dapat menemukan dua makna dari ungkapan Tanda-tanda zaman. Makna pertama dijelaskan dalam artikel 4: Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil (…) Maka perlulah di kenal dan difahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifatsifatnya
yang sering dramatis.

Artikel 4 menjabarkan Tanda-tanda zaman sebagai sifat-sifat dramatis dunia kediaman kita berikut harapan-harapan dan aspirasi-aspirasinya. Dengan kata lain, Tanda-tanda zaman adalah sifat dramatis dunia kita yang mengungkapkan aspirasi atau harapan saat ini. Dengan demikian, tidak setiap kejadian duniawi dapat diberi lebel Tanda-tanda zaman. Hanya kejadian yang membawa ciri dramatis yang mengandung ungkapan terdalam manusia kontemporer yang dapat menyandang gelar Tanda-tanda zaman.

Sebagai contoh: seorang pemuda Tunisia yang putus asa karena kesulitan ekonomi, membakar dirinya di sebuah lapangan umum sebagai aksi protes kepada pemerintah yang dituduhnya tuli dan buta atas penderitaan rakyat. Satu kejadian kecil ini memiliki sifat dramatis dan simbolis dan menggerakkan gelombang demokratisasi di negara-negara Arab. Satu contoh dari dalam negeri: melubernya warga yang membentengi gedung KPK kali lalu merupakan kejadian yang bersifat dramatis sekaligus simbolis yang mengungkapkan kerinduan rakyat akan terwujudnya tata-tata kelola pemerintahan yang bersih dan adil.

Artikel 11 menafsirkan secara berbeda istilah yang sama: Umat Allah (…) berusaha mengenali dalam peristiwa-peristiwa, tuntutan-tuntutan serta aspirasi-aspirasi yang mereka rasakan bersama dengan sesama lainnya pada zaman sekarang ini, mana sajakah dalam itu semua isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah. Artinya, menurut artikel 11, Tanda-tanda zaman adalah isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah dalam sejarah. Dengan kata lain, Tanda-tanda zaman lebih dari sekedar peristiwa dunia tetapi menjadi sarana perwahyuan kehadiran Allah.

Pertanyaannya: penafsiran mana yang benar? Apakah Tanda-tanda zaman itu pertama-tama merupakan peristiwa dunia kita atau dapat langsung dilihat sebagai tanda kehadiran dan penyertaan Allah?

(bersambung ke bagian 2)

Paris, Kamis, 18 Oktober 2012

(*) Tulisan ini adalah ringkasan dari seminar hari Selasa, tgl 16 Oktober 2012, dari mata kuliah tentang membaca dan menafsirkan Konsili Vatikan II, di Fakultas Teologi Fundamental Institut Katolik Paris. Artikel yang digunakan sebagai sumber adalah: Gilles ROUTHIER, “Les Signes du Temps” Fortune et Infortune d’Une Expression du Concile Vatican II, Transversalités, avril-juin, n° 118, p. 79-102.

(**) Misalnya dalam Presbyterorum Ordinis n°9 dan juga Unitatis Redintegratio n° 4.

Extra Ecclesiam Nulla Salus Menurut Katekismus Gereja Katolik

Pada tanggal 15 Agustus kali lalu, saya menerima email yang isinya sebagai berikut:

maaf romo, sebelumnya kenalkan nama saya ….

 romo dan saya memang belum pernah bertemu romo, tapi saya tertarik tentang tulisan romo di bagian comment di artikel pada link berikut
 jujur saja romo, dulu saya adalah mantan seminari menengah canisius di Mertoyudan namun hanya setahun (alias baru sampe KPP) saya sudah dikeluarkan karena dinilai tidak cukup kuat panggilanny romo, hehehehe. oke tapi email ini bukan untuk membicarakan kenapa saya dikeluarkan romo, itu buat lain waktu lah ya~
 
kenapa saya tertarik tentang Extra Ecclesiam Nulla Salus ??? karena seingat saya dulu saat saya diajarkan sejarah gereja dulu, oleh romo yang mengajar dikatakan bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus dihilangkan, bahwa sebenarnya di luar gereja pun tetap ada keselamatan selama individu yang terkait mengenal dan mengikuti jalan Yesus…maka sampai sekarang pun saya selalu dengan bangga mengatakan kepada siapa saja yang bertanya, bahwa gereja katolik pasca Konsili Vatikan II telah berkembang dan berubah menjadi lebih baik dan lebih terbuka….namun kemudian argumen saya di atas ditentang oleh admin sebuah fanpage di facebook, dan saya menjadi penasaran sehingga mencari tahu kemudian saya membaca kedua artikel berikut … dikatakan bahwa Extra Ecclesiam Nulla Salus harus diartikan secara pengertian gereja dan bukan pribadi, dan bahwa seharusnya Kristus dan Gereja tidak dipisahkan serta bahwa KEBENARAN dan KESELAMATAN adalah hal yang berbeda.
Jujur romo, iman saya terguncang ~ saya merasa bahwa apa yang saya yakini selama ini ternyata hanya ilusi pribadi saya saja bahwa iman saya tentang kebaikan dan kemurahan Allah Bapa menawarkan keselamatan yang sama kepada semua umat beragama di dunia, apapun agamanya, dikhianati oleh agama saya sendiri yang saya sangat hormati ….  tolong romo, berikan pencerahan ataupun mungkin tulisan yang bisa membantu saya merenungkan dan mendoakan hal ini romo~ saya baca romo sedang mempelajari teologia dan dogma di Perancis, mungkin romo bisa memberi sedikit nasihat atau apapun itu untuk saya romo??
terima kasih sebelumny romo, maaf kalo sekirany mengganggu studi romo…tapi saya takut romo, takut merasa dikhianati yang kedua kali romo
 
mohon bantuanny romo
berkah Dalem
Sebelum menanggapi pertanyaanmu, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk emailnya.
Persis seperti yang kamu tulis dalam email tadi, ungkapan Extra Ecclsiam Nulla Salus (EENS) harus ditafsirkan sesuai dengan tradisi Gereja. Dan di mana tafsiran semacam itu dapat ditemukan? Ia bisa dilihat di dalam Katekismus Gereja Katolik, khususnya dalam butir 846-848. Secara ringkat, penafsiran dalam ketiga butir tersebut dapat saya rumuskan demikian:
Ajaran Extra Ecclesiam Nulla Salus bertujuan menegaskan keagungan iman yang dihidupi dan dirayakan Gereja dan tidak bertujuan menghukum atau mengucilkan umat dari agama lainnya.
Saya akan merinci rumusan tersebut satu persatu.
1. Ajaran EENS bertujuan menegaskan keagungan iman yang dihidupi dan dirayakan Gereja. Secara positif, EENS harus diartikan sebagai ajaran Gereja yang menyatakan bahwa seluruh keselamatan datang dari Kristus sebagai Kepala melalui Gereja, yang adalah Tubuh-Nya (KGK 846). Dengan kata lain, EENS menegaskan perlunya iman, baptis dan Gereja demi keselamatan (LG 14). Mengapa hal tersebut perlu?
Dalam ajaran Kristen, iman berarti kepercayaan penuh akan Allah Tritunggal (Allah sebagai Bapa yang dikenal secara penuh dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus). Karena iman lebih dari sekedar pengetahuan tetapi penyerahan diri secara total, maka orang yang beriman pada Allah Tritunggal sebenarnya orang yang menyerahkan diri pada Allah Tritunggal, menjadi milik Allah Tritunggal dan hidup dalam misteri Allah Tritunggal.
Tanda bahwa ia menjadi milik Allah adalah Baptis: dibaptis berarti hidup sebagai milik Kristus dan hidup seperti Kristus dalam arti mati atas dosa agar hidup sepenuhnya untuk Bapa berkat kuasa Roh Kudus.
Mereka yang menjadi milik Kristus dipanggil untuk hidup dalam komunitas para muridNya, yaitu Gereja. Di dalam komunitas inilah iman tersebut dihayati dan pembaptisan dirayakan.
Dalam Gereja, kita menerima iman bahwa Allah Sang Pencipta berkenan menjadi manusia dan tinggal di tengah kita ; dalam Gereja kita meyakini bahwa Allah menjadi manusia untuk menunjukkan kasih Bapa bagi setiap orang; kasih ilahi yang begitu agung berpuncak pada sengsara dan wafat Kristus Tuhan di kayu salib; dan kesaksian kasih Yesus ini dibenarkan oleh Allah Bapa dengan membangkitkanNya dari antara orang mati; dan Roh Kudus diutus agar Gereja tidak pernah berhenti menyelami kedalaman makna perwahyuan suci ini. Apa yang dibuat Kristus, saat ini dilanjutkan oleh Gereja, khususnya dalam perayaan sakramen-sakramen.
Penjelasan di atas mungkin tidak mampu mengungkapkan keagungan iman kita. Maka saya ingin menambahkan sebuah kesaksian dari seorang ibu kepada anaknya yang baru saja ditahbiskan menjadi imam: “Nak, iman Katolik itu sungguh besar. Banyak agama mengajarkan keagungan Allah. Tetapi, hanya dalam Gereja Katolik diajarkan bahwa Allah yang mahagung menjelma menjadi manusia, tinggal di tengah manusia, dan menderita sengsara dan wafat untuk manusia…
Singkat kata, secara positif, ajaran EENS mau mengajak setiap orang yang sudah dibaptis Katolik untuk mensyukuri imannya, mendalami imannya, lebih menghidupinya imannya dan tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya. Sebab, iman yang sudah diterima itu sungguh besar, seperti yang setiap saat dinyatakan dalam Doa Syukur Agung: Sungguh Mulia Misteri Iman Kita….
2. (Ajaran EENS) tidak bertujuan menghukum atau mengucilkan umat dari agama lainnya. Hal tersebut dinyatakan secara gamblang dalam KGK butir 847: Penegasan ini tidak berlaku untuk mereka, yang tanpa kesalahan sendiri tidak mengenal Kristus dan Gereja-Nya. Dengan kata lain, keselamatan pun dapat sampai pada mereka yang tidak dibaptis yang dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata (LG 16). Apa makna pernyataan ini?
Mari kita bayangkan situasi sebagai berikut. Kita meyakini bahwa setiap orang rindu berjumpa dengan Allah dan berbahagia sepenuhnya kalau hidup akrab denganNya. Itulah yang diajarkan setiap agama. Sekarang, setiap orang beragama mencari dan berusaha dekat dengan Allah. Mereka ini bukannya hidup tanpa rahmat sebab adanya panggilan untuk mencari Allah itu sendiri sudah merupakan rahmat.
Dan kita meyakini keakraban itu secara sangat nyata nampak dalam iman Kristen yang diterima dan dihayati Gereja. Kita bisa berkata dalam hati, ah seandainya mereka mengenal Allah sebagai Bapa yang mengasihi mereka; ah seandainya mereka tahu bahwa Yesus Kristus sudah wafat demi mereka; dan seterusnya.
Kembali saya tawarkan sebuah kesaksian lagi. Seorang anak SD pernah bercerita kepada saya dalam sebuah retret. Ia bercerita begini, “Romo, setiap kali saya berdoa Bapa Kami, saya merasakan dorongan untuk bercerita kepada setiap teman saya yang beragama lain bahwa Allah yang mereka sembah itu adalah Bapa mereka. Karena saya tidak pandai bicara, saya mau mengungkapkan cinta Allah sebagai Bapa mereka melalui perhatian dan perbuatan saya kepada mereka…
Allah adalah Bapa setiap manusia. Tetapi apakah setiap manusia tahu itu? Yesus sudah wafat bagi setiap orang sebagaimana kita rayakan dalam Ekaristi: Inilah DarahKu yang ditumpahkan bagimu dan bagi setiap orang demi pengampunan dosa… tetapi apakah mereka tahu itu?
Apakah mereka yang tidak tahu itu diselamatkan? Apakah mereka yang tidak tahu tetapi sungguh-sungguh mencari Allah dapat diselamatkan? Gereja mengajarkan “ya, mereka juga diselamatkan” sebab setiap orang, dengan berbagai cara yang hanya diketahui oleh Allah dipersatukan ke dalam misteri Paskah (GS 22 ). Tetapi masalahnya, keselamatan dalam iman seagung itu tidak mereka kenal, mereka sudah dipeluk oleh keselamatan Allah tetapi mereka tidak mengenal siapa yang sudah merangkul mereka itu. Akibatnya, jawaban mereka juga jadi kurang terarah, kurang sempurna, kurang mendalam. Keselamatan seagung itu yang ditawarkan kepada mereka tidak mendapat tanggapan yang mendalam karena kurangnya pengetahuan iman.
Maka, EENS tidak bisa dipakai sebagai landasan untuk melihat bahwa orang-orang yang tidak dibaptis pasti masuk neraka. Tafsiran yang sempit atas EENS semacam itu justru dinyatakan bidaah oleh Gereja sendiri (lihat kasus romo Feeney di link berikut ini http://en.wikipedia.org/wiki/Feeneyism).
3. Oleh karena itu, ajaran EENS menjadi landasan untuk karya misi Gereja, sebagaimana ditekankan dalam KGK butir 848 yang mengutip ajaran Konsili Vatikan II: Meskipun Allah melalui jalan yang diketahui-Nya dapat menghantar manusia, yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil, kepada iman yang merupakan syarat mutlak untuk berkenan kepada-Nya, namun Gereja mempunyai keharusan sekaligus juga hak yang suci, untuk mewartakan Injil (AG 7).
Karena  menerima perwahyuan yang begitu agung, laksana harta terpendam, Gereja diundang untuk mewartakannya kepada seluruh dunia. Keagungan iman tidak bisa dijadikan alasan untuk bersikap sombong. Keagungan iman yang diterima Gereja justru mengandung tugas perutusan untuk dibagikan dan diwartakan dengan beragam cara: lewat kesaksian hidup (seperti jemaat pertama dalam Kisah Para Rasul), lewat pewartaan iman (seperti yang dilakukan Paulus di depan orang-orang Yunani di Aeropagus) atau lewat pengajaran iman kepada mereka yang ingin tahu iman Kristen (seperti yang dibuat Filipus kepada seorang sida-sida dari Ethiopia).
Apakah mereka yang menerima pewartaan kita akan dibaptis? Hanya Allah yang dapat menambah jumlah anggota komunitas para murid Tuhan seperti yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul. Tugas kita adalah mewartakan misteri iman yang begitu agung itu. Kita tidak bisa berdiam diri menerima anugerah iman sebesar itu. Keselamatan dalam Kristus harus mendapatkan tanggapan berdasarkan Kebenaran dalam Kristus. Dan keduanya harus diwartakan oleh Gereja yang telah diselamatkan dan dibenarkan oleh Kristus.
Begitu tanggapan saya. Moga membantu.
Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi
Lisieux, 15 Agustus 2012

Dunia Bisnis dan Iman: Dua Dunia yang Berlawanan?

Setiap orang Kristen, apa pun profesinya, dipanggil untuk menjadi garam dunia. Artinya, dengan menjalankan profesi masing-masing menurut prinsip-prinsip yang berakar pada ajaran Tuhan, mereka sudah menjadi penabur anugerah iman, harapan dan kasih ke dalam dunia.

Salah satu profesi yang punya pengaruh kuat dalam kehidupan umat manusia adalah yang berhubungan dengan ekonomi. Dunia mereka ini biasa kita sebut sebagai “dunia bisnis” dan para pelakunya biasa dikenal sebagai “pebisnis atau penguasaha.” Dunia ini punya satu tujuan utama: keuntungan materi.

Pertanyaannya: apakah profesi sebagai pebisnis atau pengusaha dapat disandingkan dengan iman Kristen?  Bukankah Tuhan Yesus sendiri pernah menantang muridNya untuk memilih antara menjadi hamba Allah atau hamba uang alias Mammon? Dengan tantangan ini, Tuhan Yesus dan Gereja Perdana sudah mengundang setiap orang Kristen untuk waspada terhadap godaan uang.

Melihat tanda-tanda zaman sekarang ini, kecenderungan untuk sekedar mencari keuntungan materi begitu kuat, khususnya bagi para pengusaha.

Gejala yang disebut globalisasi telah meruntuhkan tembok-tembok penghalang kekuatan pasar sehingga modal dapat dengan mudah mengalir dan berpindah tempat. Gejala yang sama memungkinkan munculnya suatu cita rasa tunggal yang tentu sangat menguntungkan bagi pemasaran suatu produk. Jika keuntungan materi yang menjadi tuan, gejala globalisasi hanya menguntungkan pihak-pihak yang sudah siap dan lebih kuat dan melindas mereka yang tidak siap dan lemah.

Salah satu faktor utama pendorong globalisasi adalah kemajuan teknologi komunikasi yang begitu pesat. Dengan kemajuan ini, banyak hal dipermudah. Akan tetapi, efek negatif dari kemajuan ini adalah munculnya “banjir badang” informasi yang mempersulit pengambilan keputusan.

Belum lagi kecenderungan untuk mengkormersialisasikan setiap hal. Ketika ekonomi menjadi aspek terpenting dalam kehidupan, setiap hal punya harga, setiap hal diperdagangkan dan setiap hal dapat dibeli. Bukan hanya barang, sekarang tenaga kerja juga jadi bahan komoditi dalam pasar kerja. Bahkan, manusia pun diperdagangkan secara ilegal.

Dan akhirnya, ada kecenderungan kuat untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang bersifat individualis dan tidak begitu berarti bagi peningkatan kualitas hidup pribadi dan sosial. Sekali kebutuhan jenis ini tercipta, suatu pasar tersedia.

Berdasarkan apa yang saat ini kelihatan, apakah masih ada kesempatan bagi para pengusaha Kristen untuk berbisnis secara profesional (menguntungkan) di satu sisi tetapi sekaligus menaburkan firman Tuhan di sisi lainnya?

Tentu masih ada pintu terbuka untuk tetap berbisnis secara profesional tanpa meninggalkan praktek iman yang sejati. Syaratnya adalah menilai dan mengambil keputusan berdasarkan prinsip-prinsip Kristen. Misalnya:

-prinsip-prinsip yang berkaitan dengan produk dan lingkungan produksi: produk yang dihasilkan punya dampak positif bagi pribadi dan lingkungan produksi menghargai kelestarian alam dan budaya yang ada.

-prinsip-prinsip yang berkaitan dengan personal di lingkungan kerja: setiap orang yang terlibat dalam produksi mendapatkan penghargaan yang pantas dalam hal pendapatan, diberi kesempatan untuk belajar dan berkembang berdasarkan prinsip subsidiaritas dan penghargaan atas martabat dan harkat manusia (pekerjaan untuk manusia dan bukan sebaliknya).

-prinsip yang berkaitan dengan pembagian keuntungan: suatu usaha dinilai berjalan dengan baik bila memperhitungkan keuntungan bagi setiap pihak yaitu pengusaha, pekerja, pemegang saham dan masyarakat yang ada. Keuntungan dilihat bukan melulu dari segi materi tetapi juga manfaat rohani dari kegiatan bisnis yang dijalankan.

Setelah melihat dan menilai kini saatnya bertindak. Setiap pengusaha Kristen yang mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip yang diinspirasikan oleh ajaran Tuhan, adalah penabur sabda bahagia. Keuntungan materi tidak dinilai “haram” oleh Gereja karena tanpa keuntungan itu dunia usaha tidak dapat dijalankan dan manfaat ekonomi tidak dapat dibagikan kepada masyarakat. Yang penting adalah bagaimana keuntungan materi itu dicapai tanpa melupakan keuntungan lainnya yang bersifat rohani, sosial dan budaya.

Kesimpulannya: pebisnis Kristen yang menilai dan bertindak berdasarkan ajaran Tuhan adalah pengusaha profesional sekaligus garam dan terang dunia, khususnya dunia bisnis yang menjadi ladang garapan mereka.

Sumber: Dokumen dari Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian tentang Panggilan Para Pengusaha. (Dapat diunduh di sini:http://www.stthomas.edu/cathstudies/cst/conferences/Logic%20of%20Gift%20Semina/Logicofgiftdoc/FinalsoftproofVocati.pdf)

Keselamatan Orang Asing dan Kehidupan Murid Tuhan yang Sejati

Senin, 27 Februari 2012, Minggu I Pra Paskah

Pintu gerbang utama katedral Notre Dame Paris dihiasi oleh pahatan yang berkisah tentang Pengadilan Terakhir. Kisah ini sengaja diletakkan di atas gerbang utama untuk mengingatkan para pendoa agar tidak menunda pertobatannya: ibadah yang sejati adalah ibadah yang mendorong pada dan sekaligus buah dari tobat. Akan tetapi, pertobatan Kristen lebih dari sekedar menjauhi api neraka demi mendapat tempat di surga. Pertobatan Kristen harus menjadi sebuah kesaksian atas kehidupan surgawi itu sendiri – sebuah kehidupan yang mencerminkan relasi penuh keakraban antara manusia-Allah. Dengan kata lain, pertobatan Kristen adalah sarana yang dipakai Allah untuk menarik dunia semakin dekat padaNya.

Itulah pesan yang dapat ditarik dari bacaan Injil hari ini. Banyak yang mengira bahwa bacaan Injil hari ini adalah seruan untuk melakukan amal kasih, sebuah perintah moral supaya bisa selamat masuk surga. Ada beberapa kejanggalann dalam perumpaan Tuhan yang mengundang kita untuk melihat lebih dalam lagi dari kesan pertama ini. Mereka yang digambarkan sebagai domba ditampilkan sebagai pihak yang tidak mengenal Tuhan: bagaimana kami tahu bahwa kami telah memberi Engkau tumpangan ketika Engkau orang, asing, roti ketika Engkau lapar, pakaian ketika Engkau telanjang… Mereka sungguh tidak mengenal Tuhan, mereka tidak melihat Tuhan dalam diri orang-orang yang kesusahan. Yang mereka lakukan adalah menolong pihak yang disebut Tuhan sebagai yang paling kecil dari saudara-saudaraNya. Siapakah pihak yang paling kecil ini?

Dalam bagian lain, Tuhan Yesus menyebut para muridNya sebagai kawanan kecil. Oleh karena itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pihak yang paling kecil dalam perumpaan ini adalah para murid Tuhan sendiri. Dengan demikian, para murid Tuhan, yang sungguh-sungguh hidup sebagai murid Tuhan yang sejati, adalah para wakilNya di dunia, hingga apa yang dibuat orang pada mereka juga dibuat bagi Tuhan. Perumpaan ini tidak berkisah tentang bagaimana murid Tuhan dapat masuk surga tetapi sebaliknya bagaimana orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dapat selamat: yaitu dengan hidup berdampingan dan saling menolong dengan para murid Tuhan yang sejati.

Kuncinya ada di dalam diri para murid Tuhan itu sendiri: apakah hidup mereka sungguh-sungguh dipimpin dan dipenuhi oleh kehadiran Tuhan, seperti yang ditulis Paulus: bukan lagi aku yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Keselamatan mereka yang tidak mengenal Tuhan tergantung dari kesaksian para murid Tuhan yang sejati, yang hidup layaknya kawanan kecil dan lemah.

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Tentang Allah Tritunggal_2: Iman Gereja dan Rumusannya dalam Gereja Perdana

Percaya akan Allah yang tunggal dan maha kuasa adalah pernyataan iman Kristen yang tidak dapat dibantah lagi. Sebagaimana sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Tentang Allah Tri Tunggal_1: Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, para Pembela Iman Kristen mempertahankan ajaran ini di hadapan dunia yang menyembah banyak ilah dan juga di depan bidaah dalam Gereja sendiri, seperti Gnosisme. Masalahnya adalah Gereja, melalui para rasul, menerima perwahyuan ilahi di mana Allah yang mereka imani itu berkenan dikenal oleh manusia dalam ‘kemajemukan pribadi’. Secara sangat singkat, isi perwahyuan dan sekaligus ungkapan iman Kristen itu dapat dirangkum dalam rumusan ini: Allah telah berkenan memperkenalkan diriNya dalam Pribadi Yesus, Sang Mesias, dengan membangkitkanNya dari antara orang mati dan melalui Yesus yang sama menawarkan keselamatan kepada semua manusia, dan Ia telah mencurahkan Roh KudusNya ke dalam Gereja.

Pada mulanya, iman ini dihayati oleh Gereja tanpa suatu rumusan yang formal, baku, dan digunakan secara seragam di seluruh komunitas murid Tuhan, sebagaimana rumusan ‘Aku Percaya’ yang sekarang ini kita kenal, yang baru muncul di paruh pertama dan paruh kedua abad ke 4. Namun demikian, pelan namun pasti, beberapa faktor berikut ini mendorong Gereja untuk mencari, menemukan dan menggunakan kata-kata yang memadai untuk mengungkapkan inti iman mereka[1]. Faktor pertama adalah upacara pembaptisan. Sebagai tanda dan sarana yang membawa seseorang masuk ke dalam bilangan anggota Gereja, upacara baptis menuntut sang terbaptis untuk menyatakan sikapnya bahwa ia meyakini secara sungguh-sungguh apa yang menjadi iman Gereja. Agar hal itu dapat terjadi, Gereja perlu merumuskan dalam kata dan kalimat apa yang menjadi inti imannya. Di samping pembaptisan, proses pengajaran iman yang mempersiapkan pembaptisan (katekumenat) juga menuntut perumusan verbal atas inti iman Kristen. Kotbah dan perdebatan dengan ajaran-ajaran yang berlawanan baik dari dalam maupun dari luar Gereja ikut membantu terbentuknya rumusan verbal akan iman Gereja. Tidak kalah pentingnya adalah kehidupan liturgi di mana umat Kristen mengungkapkan iman yang mereka hayati dalam doa dan pujian. Singkat kata, Gereja menghidupi dan menghayati iman mereka dan iman yang hidup inilah yang  menjadi dasar bagi rumusan verbal yang ingin mengungkakan isi iman tersebut. Para rasul tidak percaya pada rumusan iman yang turun dari surga. Mereka percaya pada Allah yang tungal, yang mereka kenal dan mereka alami sendiri melalui Pribadi Yesus dan Roh Kudus.

Upaya untuk mengungkapkan secara verbal apa yang menjadi inti iman Gereja ini sudah muncul sejak zaman para rasul, sebagaimana terungkap pertama-tama dalam beragam kitab Perjanjian Baru. Di bawah tuntunan Roh Kudus, para penulis suci meneruskan apa yang sebelumnya diterima oleh para rasul dari Tuhan sendiri. Salah satu contohnya adalah salam rasul Paulus kepada umat di Korintus ini: Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian (2Kor. 13:14); perintah Yesus yang bangkit kepada para muridNya dalam Matius 28: 19 juga mau mengungkapkan iman yang sama: Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus; di samping dua contoh yang paling kerap disebutkan ini, masih ada banyak contoh lainnya seperti berikut ini: Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita (1Kor. 6:11); Sebab Dia yang telah meneguhkan kami bersama-sama dengan kamu di dalam Kristus, adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda milik-Nya atas kita dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita sebagai jaminan dari semua yang telah disediakan untuk kita (2Kor. 1:21-22); …yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya (1Pet. 1:2); dan masih banyak contoh lainnya yang pada intinya memperlihatkan bagaimana para rasul menghayati iman mereka akan Allah yang tunggal dalam tiga pribadi ilahi.

Di samping kitab-kitab Perjanjian Baru, upaya perumusan ini juga terjadi dalam upacara pembaptisan[2]. Tulisan Yustinus martir memperlihatkan bagaimana penghayatan iman para rasul itu dicoba diungkapkan dalam bentuk kata-kata untuk memenuhi kebutuhan dalam upacara pembaptisan. Dalam 1 Apology, ia menulis: (mereka yang akan dibaptis) oleh kami dituntun ke suatu tempat di mana ada air dan di sana, dengan cara yang sama seperti yang kita terima ketika kita dilahirkan kembali, mereka juga dilahirkan kembali. Dalam nama Allah Bapa dan penguasa segalanya, dan Penyelamat kita Yesus Kristus, mereka dibersihkan di dalam air. Selanjutnya, dalam tulisan lainnya, Yustinus martir juga menulis: (pembaptisan di lakukan) dalam nama Allah Bapa penguasa segala yang ada dan Yesus Kristus, yang disalibkan dalam pemerintahan Ponsius Pilatus dan Roh Kudus yang mewayhukan kepada para nabi seluruh sejarah hidup Yesus.

Secara lebih panjang lebar, iman akan Allah Tritunggal ini terungkap dalam ajaran iman untuk para katekumen. Tulisan Irenius berikut ini adalah salah satu contohnya:

Inti iman kita dapat dijabarkan secara teratur seperti berikut ini… Allah Bapa, tidak diciptakan, tidak bersifat jasmani, tak nampak; Allah yang tunggal, pencipta segala yang ada; inilah pokok pertama iman kita. Pokok kedua adalah ini: Sabda Allah, Putra Allah, Kristus Yesus Tuhan kita, Yang diwahyukan kepada para nabi; melalui Dia segala sesuatu dijadikan; Yang juga, pada kegenapan waktu, untuk menghimpun dan mengumpulkan segalanya, menjadi manusia di antara manusia, yang dapat dilihat dan disentuh, untuk menghancurkan kematian dan membawa kehidupan serta perdamaian abadi antara Allah dan manusia. Dan pokok yang ketiga adalah ini: Roh Kudus, yang memampukan para nabi bernubuat dan yang mengajar para bapa bangsa Israel untuk mengenal kehendak Allah dan yang menuntun orang-orang benar  di jalan yang lurus;  yang pada akhir zaman dicurahkan secara baru ke dalam diri setiap orang di atas bumi dan membaharui manusia bagi Tuhan.

Inti iman yang dihidupi para rasul dan juga Gereja ini menemukan ungkapannya secara verbal atau dalam bentuk kata dan kalimat dalam beragam kesempatan sebagaimana terungkap dalam contoh-contoh di atas. Rumusan-rumusan ini pada intinya ingin memperlihatkan bagaimana Allah yang tunggal itu memperkenalkan diri dalam tiga pribadi. Rumusan-rumusan itu sendiri tidak menjelaskan bagaimana hal ini dapat dipahami. Gereja generasi berikutnya mendapatkan tugas untuk menjabarkan bagaimana inti imannya dapat dipahami.


[1] JND Kelly, Early Christian Creeds, Continuum New York 2006, hlm. 13-14

[2] JND Kelly, Early Christian Doctrines, Continuum New York 2000, hlm. 89-90

Tentang Allah Tri Tunggal_1: Allah Yang Esa dan Maha Kuasa

Aku percaya akan Allah, Bapa yang maha kuasa, pencipta langit dan bumi… inti iman para murid Tuhan dibuka dengan keyakinan akan Allah yang Esa sekaligus Maha Kuasa. Keyakinan ini berakar kuat pada iman bangsa Israel, saudara tua umat Kristen dalam iman. Berbeda dari bangsa-bangsa lainnya yang meyakini dan menyembah banyak ilah, Gereja secara mantap meyakini bahwa Allah itu Tunggal dan sekaligus Maha Kuasa. Ketunggalan Allah terungkap dalam sebutan Bapa, yang berarti sumber segala sesuatu yang ada. Sebutan Maha Kuasa ingin menyatakan bahwa kuasaNya meresapi segala sesuatu yang ada karena semuanya diciptakan olehNya. Keyakinan ini dibela dan dihayati berkat permenungan yang mendalam atas Kitab Suci. Pengaruh gagasan dunia luar belum banyak dirasakan manfaatnya untuk mengkomunikasikan keyakinan iman ini.

Keadaan ini berubah terutama ketika Para Pembela Iman tampil ke muka untuk berbicara demi iman yang mereka bela. Dunia yang menyembah banyak dewa tentu tidak mengenal Kitab Suci yang menjadi inspirasi hidup Gereja. Oleh karena itu, Para Pembela Iman menggunakan gagasan dan metode para filsuf yang dikenal saat itu sebagai sarana untuk memperkenalkan dan membela iman akan Allah yang Esa dan Maha Kuasa. Aristides dari Athena, misalnya, menggunakan ide yang dikembangkan oleh Aristoteles tentang ‘penggerak yang tidak digerakkan.’ Segala sesuatu yang bergerak, kata Aristoteles, pasti digerakkan oleh sesuatu lainnya. Dengan demikian, alam semesta yang bergerak ini adalah mata rantai gerakan yang begitu besar di mana gerakan bagian yang satu menyebabkan gerakan bagian lainnya. Mata rantai ini, lanjutnya, pasti punya awal sekaligus sumber gerakannya. Awal dan sumber gerakan ini harus bergerak sendiri tanpa ada yang menggerakkannya, sebab kalau ada yang menggerakkannya dia bukanlah awal dan sumber segala gerakan. Menurut Aristides, sumber dan awal gerakan inilah yang oleh umat beriman dikenal sebagai Tuhan-Allah.

Seperti Aristides, Justinus martir juga memanfaatkan olah pikir filsof besar Yunani untuk membela iman akan Allah Yang Esa. Ia menggunakan permenungan Plato ketika menjelaskan bahwa segala yang ada diciptakan oleh Allah dari bahan kasar yang belum punya bentuk. Tentu Justinus berkeyakinan bahwa bahan kasar yang tak berbentuk ini juga dicipatkan Allah. Hal ini perlu digarisbawahi sebab dalam alur pemikiran Plato, Demiurge atau pencipta zat jasmani, membuat benda-benda dari materi kasar sebagai bahan dasarnya dan bahan dasar ini bersifat kekal, atau tidak diciptakan. Maka, dalam keyakinan saat itu, mengikuti arah pemikiran Plato, garis tegas antara pencipta dan zat ciptaan belum begitu terlihat karena keduanya, baik Demiurge maupun zat ciptaan, sama-sama bersifat kekal. Kembali menurut Justinus, alam semesta ini terjaga kelangsungannya berkat Logos atau Firman yang keluar dari Allah yang tunggal.

Irenius tidak memanfaatkan pemikiran para tokoh filsuf besar Yunani tetapi, dalam perdebatannya dengan gerakan Gnosis yang mengakui beragam tingkat keilahian, Irenius mengundang orang untuk menggunakan akal sehat. Gerakan Gnosis mencoba di satu sisi memisahkan Allah yang bersifat roh murni dari zat jasmani yang dianggap kotor tetapi di sisi lain mencoba mempertahankan keyakinan akan kemahakuasaan mahluk-mahluk ilahi. Oleh karena itu, mereka menciptakan sebuah keyakinan ini: agar tidak tercemar, Allah, menurut Gnosis, perlu melahirkan ilah-ilah lain, dan ilah-ilah inilah yang menciptakan dan sekaligus berurusan dengan kenyataan jasmani yang kotor itu.  Irenius menyerang keyakinan ini dengan bertanya: bagaimana mungkin para ilah itu disebut mahakuasa jika di atas mereka masih ada pihak lain yang lebih kuat? Menurut Irenius, Allah itu Esa dan sekaligus Maha Kuasa. Ia menguasai dan mengatur semesta melalui FirmanNya dan Kebijaksanaan atau RohNya.

(JND Kelly, Early Christian Doctrines, Continuum, 2000, hlm. 83-87)