Arsip Kategori: Renungan Harian

Ibadah dan Keadilan

Amos 5: 14-15.21-24


”Berdoa bukanlah pengisi waktu luang kaum lanjut usia. Jika dipahami dan dihayati secara benar, doa adalah sarana penuh daya bagi tindakan manusia” ( Mahatma Gandhi) =

Nabi Amos mengkritik secara keras praktek peribadatan bangsanya. Mereka berpikir bahwa nyanyian pujian dengan gambus, korban bakaran, korban sajian dan korban keselamatan dalam rupa ternak tambun, dapat menggantikan perbuatan adil.

“Aku benci, Aku menghinakan perkumpulan rayamu, aku tidak suka perayaanmu… Aku tidak memandang korban-korbanmu.” Begitulah firman Tuhan yang disampaikan melalui mulut nabi Amos. Relasi dengan Tuhan (doa dan korban) tidak pernah dapat dipisahkan dari bagaimana si pendoa berelasi dengan sesamanya (keadilan).

Daripada memandang berlimpahnya korban bakaran dan persembahan, Tuhan lebih memilih “… keadilan yang bergulung-gulung seperti air dan kebenaran mengalir tiada henti seperti sungai.”

Marilah hari ini berdoa, supaya kita semakin berani mengenyampingkan egoisme masing-masing, merelatifkan perasaan suka-tidak suka, dan berani memilih melaksanakan tugas dengan setia, demi kepentingan bersama.

“…jadilah kehendakMu di atas bumi SEPERTI di dalam surga…. ampunilah kesalahan kami SEPERTI kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”

Bumi Batavia, Rebo Subuh, hari pertama Juli 2020

Hari Minggu Palma, 5 April 2020

 

 

Bacaan Injil (sebelum perarakan): Matius 21:1-11

Mengamati Teks:

Secara garis besar, perikop ini memiliki dua bagian besar. Tema bagian pertama adalah persiapan memasuki Yerusalem. Tema bagian kedua adalah perarakan ke dalam Yerusalem.

Masing-masing bagian memiliki tiga sub-tema. Setiap sub tema dari masing-masing bagian terhubung oleh pengulangan kata-kata kunci.

Sub tema perdana bagian pertama punya kata kunci: “telah dekat Yerusalem” dan “jikalau orang menegurmu, katakanlah ‘Tuhan memerlukannya”. Kata-kata kunci ini menghubungkan sub tema perdana bagian pertama dengan sub tema terakhir bagian kedua yang punya kata-kata kunci: “Ketika Yesus masuk ke Yerusalem” dan “orang berkata: Siapakah orang ini? Dan orang banyak menyahut: inilah nabi Yesus dari Nazaret, di Galilea”. Pada bagian pertama, identitas Yesus ditanyakan oleh satu orang, yaitu sang pemilik keledai, dan dijawab oleh kedua murid Yang diutus Yesus. Ada suasana kesederhanaan dan ketersembunyian pada bagian ini. Sebaliknya, pada sub tema terakhir bagian kedua, identitas Yesus ditanyakan dan dijawab oleh banyak orang. Yesus tidak lagi tersembunyi. Seluruh Yerusalem mengenal Dia. Mengenal sebagai siapa? Menarik bahwa penginjil Matius menggunakan ungkapan “gemparlah seluruh kota itu”. Ungkapan yang mirip pernah dipakai oleh Matius dalam bagian awal Injilnya, yaitu ketika tiga majus datang ke istana Herodes dan bertanya tentang seorang Raja yang baru dilahirkan. Di situ disebutkan bahwa Herodes beserta seluruh Yerusalem terkejut (2:3). Dengan demikian, identitas Yesus sebagai nabi membuat gempar dan identitasNya sebagai Raja membuat terkejut. Sungguh, yang mendatangi Yerusalem adalah seorang Raja sekaligus nabi. Gambarannya adalah raja Daud dan nabi Musa. Perkara identitas ini akan dikembangkan pada sub tema berikutnya.

Sub tema kedua bagian pertama punya kata kunci: “lihat rajamu datang kepadamu.” Kata kunci ini menghubungkan sub tema kedua bagian pertama dengan sub tema kedua bagian kedua yang punya kata kunci: “Hosana bagi Anak Daud”. Yesus adalah raja seperti yang dinubuatkan nabi. Nubuat nabi itu ditanggapi oleh seruan penduduk Yerusalem “Hosana Anak Daud”. Wahyu dari Allah melalui mulut nabi tentang identitas Yesus ditanggapi dengan sukacita melalui mulut penduduk Yerusalem yang berseru “Hosana” ( seruan dalam bahasa Aram. Dalam Ibrani, hosia na, artinya: tolonglah). Artinya, penduduk Yerusalem mengakui bahwa Yesus adalah Dia yang diurapi (Kristus) yang datang untuk menyelamatkan Israel seperti yaang dinubuatkan para nabi. Dialah Raja, datang bukan untuk menguasai tetapi untuk menyelamatkan yang tertindas. Inilah Mesias, Kristus, yang diurapi. Menarik bahwa relasi antara kedua sub tema itu seperti relasi Sabda Tuhan dan jawaban umat dalam liturgi. Setiap kali Kitab Suci selesai diwartakan, lektor atau lektris akan menutupnya dengan berseru: demikianlah Sabda Tuhan. Lalu jemaat yang hadir menjawab: syukur pada Allah. Persis seperti yang terjadi dalam Injil hari ini: ketika disebutkan bahwa Allah berfirman melalui para nabi yang berkata “lihat rajamu datang kepadamu… mengendarai keledai…” seluruh Yerusalem yang melihat “Sang Sabda” di atas keledai berseru “Hosana”. Suasana yang dibangun adalah suasana liturgi, suasana doa, suasana kebersamaan dengan Tuhan, yang mendatangi umatNya, juga melalui sabda yang diwartakan dan diterima dengan iman.

Sub tema terakhir bagian pertama punya kata kunci: “mereka… mengalasinya dengan pakaian mereka.” Kata kunci ini menghubungkan sub tema ketiga bagian pertama dengan sub tema perdana bagian kedua yang punya kata kunci: “orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaian mereka di jalan”. Pada bagian pertama, pakaian menjadi alas Yesus yang duduk di atas keledai. Pada bagian kedua, pakaian menjadi alas bagi keledai yang menapaki jalan-jalan Yerusalem. Siapapun yang “terkoneksi” dengan Yesus akan diidentikkan denganNya. Orang menghormati Yesus. Tetapi karena Yesus mengendarai keledai, mereka mau tak mau mengalasi jalan yang dilewati keledai itu dengan pakaian mereka. Ketika dibaptis, nama Yesus tertera di dahi kita. Maka biarlah orang juga melihat Yesus melalui tindak-tanduk kita. Kalau ada keberhasilan dan sukacita yang dialami orang karena perbuatan kita, mereka akan “mengalasi” jalan waktu hidup kita dengan ucapan terima kasih. Tetapi kita tahu, untuk siapa terima kasih, syukur dan hosana itu sesungguhnya tertuju.

Bumi Batavia, Sabtu 4 April 2020

 

 

Pengalaman Cuma-cuma

15 Agustus 2006…

Barisan putra-putri altar mengawali iringan para imam memasuki gedung gereja St. Bartolomeus, Galaxy, Bekasi. Seiring asap dupa nan wangi, alunan doa dalam nada membumbung ke angkasa, mengantar asa seisi jemaat ke hadiratNya: “Ke depan altar, aku melangkah…” 

15 Agustus 2016…. (10 tahun kemudian)

Melangkah sendiri ke halaman gereja St. Joseph artisan, diri ini disambut senyum dan sapa seorang tentara yang berjaga di muka gerbang gereja:”Bonjour et bonne fête” (Selamat pagi dan selamat berpesta). Selanjutnya, bersama 9 suster dari konggregasi Servantes des pauvres dan seorang ibu, di dalam kapel biara mereka yang mungil, kami merayakan ekaristi, mendalami misteri iman terangkatnya Bunda Maria ke surga.

Apa kesamaan antara 15 Agustus 10 tahun yang lalu dan 15 Agustus hari ini? 

Satu pengalaman ditawarkan oleh kenangan tahbisan 10 tahun yang lalu dan senyum sapa seorang tentara serta kesederhanaan hidup para suster yang kuterima hari ini: pengalaman akan yang “cuma-cuma.”

Imamat adalah pemberian cuma-cuma Allah melalui GerejaNya; senyum sapa seorang tentara adalah pemberian cuma-cuma; kesaksian para suster biara adalah pemberian cuma-cuma. Semuanya mewujudkan pengalaman akan yang cuma-cuma, yang gratis, yang melampaui perhitungan untung rugi, melampaui logika berguna atau tak berguna.

Orang Latin menamakan yang cuma-cuma sebagai gratis, dari gratia, rahmat. Artinya: pemberian ilahi yang mendahului logika pantas tidak pantas menurut hukum dunia.

Orang Yunani tidak jauh dari pengertian yang sama ketika menamai keindahan dengan istilah charis, yaitu pengalaman estetis berkat perjumpaan dengan segala yang indah dalam seni, di alam ciptaan, dst.

Maka, imamat adalah rahmat sekaligus keindahan. Ia menjadi tanda kehadiran sisi kehidupan yang cuma-cuma, kehidupan sebagai anugerah, sebagai hadiah. 

Di tengah arus logika untung rugi dan perhitungan praktis yang menyempitkan identitas manusia modern sebagi homo economicus, imamat, seperti halnya senyum sapa seorang tentara dan kesaksian hidup para suster biara, merupakan undangan untuk menyelami kehidupan manusia sebagai misteri rahmat sekaligus keindahan.

Tidak semuanya bisa disimpulkan dalam logika menang kalah, untung rugi, berguna atau sia-sia. Ada dimensi kehidupan yang hanya bisa diterima: 

Pengelana tidak akan bertanya mengapa mawar merah berada di sana. Ia akan terpukau akan keindahan sang mawar dan menerimanya sebagai hadiah semesta

Paris, 15 Agustus 2016

Hari Raya Bunda Maria diangkat ke surga

Kautahu Tuhan KucintaKau

Kis. 25:13b-21; Mzm. 103:1-2,11-12,19-20ab;Yoh. 21:15-19.

image

“Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?”

Sebelum sengsara dan wafat Tuhan, Petrus menjawab pertanyaan di atas dengan lantang: ” Biarpun yang lainnya menyangkalMu, aku akan menyerahkan nyawaku untukMu”.

Kini, setelah kebangkitan Tuhan, Petrus tidak lagi membandingkan dirinya dengan para murid yang lain. Tidak lagi merasa lebih baik dari mereka. Ia kini meletakkan semuaNya ke dalam hati Tuhan dan GuruNya, Sang Gembala yang mengenal setiap domba-dombaNya: ” Kautahu Tuhan, kucintaKau”.

Siapa dapat menilai kedekatan dengan Tuhan? Aku jauh Engkau jauh, Aku dekat Engkau dekat, senandung Bimbo. Tuhan adalah  Penyair Agung. Ia sanggup menggubah untaian peristiwa hidup setiap pribadi yang dianggap tak berarti menjadi sebuah syair murni. Detik-detik terakhir penyamun di salib diubahNya jadi pintu masuk ke surga. Penyangkalan Petrus dibuatNya jadi awal pertobatan dan perutusan.

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Paris 13 Mei 2016, Jumat

Pelayan sebagai saksi iman

Luk. 15: 11-32

Sebagian orang menyebutnya kisah anak yang hilang untuk menekankan pilihan fatal yang dibuat si bungsu dalam perumpaan yang hanya ditemukan di injil Lukas. Sebagian lagi ingin menekankan kembalinya si anak bungsu untuk menggarisbawahi pertobatan. Yang lainnya lebih memilih memberi judul perumpamaan tentang bapak yang baik hati. Perkenakan saya mengusulkan satu sudut pandang berbeda. Titik berangkatnya adalah peran yang dimainkan oleh para pelayan si bapak dalam kisah ini.

Para pelayan si bapak punya peran khusus dalam kisah ini. Yang mendorong si bungsu pulang ke rumah bapaknya adalah kenangan indah akan kehidupan para pelayan yang bekerja di rumah bapaknya. Sebaliknya, yang membuat si sulung “ngambek” dan tidak mau masuk ke rumah sepulangnya dari bekerja di ladang adalah kabar yang ia dengar dari pelayan bapaknya tentang pesta besar untuk menyambut kembalinya si bungsu. Di hadapan si bungsu dan si sulung, para pelayan memainkan peran yang sama: menjadi saksi kemurahan hati sang bapak. “Kesaksian” para pelayan ini mendapat tanggapan yang berbeda dari kedua anak tuan mereka.

Peran para pelayan dalam kisah Yesus dapat disejajarkan dengan peran para saksi iman: mewartakan kebaikan Allah Bapa sedemikian sehingga setiap orang yang mendengarnya tidak dapat menghindar untuk mengambil sikap. Tugas para saksi (martir) adalah memberi kesaksian tentang pengalaman iman yang mereka terima. Para saksi tidak diutus untuk mendapat simpati atau sanjungan atau memperolah banyak pengikut. Mereka menyampaikan apa yang mereka alami sendiri, yaitu pengalaman akan kemaharahiman Allah Bapa. Kesaksian yang sejati akan mengugah para pendengarnya untuk masuk ke dalam hati mereka masing-masing dan bertanya: di hadapan kesaksian kasih ini apa yang harus kubuat? Dengan kata lain, kesaksian iman sejati memungkinkan lahirnya kesadaran dan kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani masing-masing. Kesaksian iman memerdekakan para pendengarnya.

Apakah renungan akan Kitab Suci memiliki kekuatan untuk mendorongku mengambil sikap? Apakah perayaan Ekaristi menyadarkanku untuk membaharui komitmen imanku?

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Meminta Tanda

image

Senin : Rm. 1:1-7; Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4; Luk. 11:29-32.

Generasi Tuhan Yesus meminta tanda. Ini merupakan godaan Persis seperti yang dibuat Setan di padang gurun : kalau kau benar Anak Allah ubahlah batu ini jadi roti…. Meminta tanda Sama dengan mencobai Tuhan.

Generasi sekarang mungkin tidak lagi meminta tanda. Generasi saat ini bisa jadi tidak peduli lagi pada tanda. Kepekaan akan tanda semakin tergerus oleh arus materialisme dan cari senang sendiri. Tanda-tanda alam diabaikan: hutan dibakar, sungai dijadikan tempat sampah, bumi pertiwi disedot kekayaannya. Kita membungkam suara alam yang hendak menyanyikan kidung pujian bagi Sang Pencipta. Jika kita tidak lagi peka pada tanda-tanda yang kelihatan bagaimana kita dapat sampai mendengar suara Dia yang tersembunyi namun nyata?

Merenungkan sabdaNya adalah jalan mengasah kembali kepekaan akan tanda. Belajar mendengarkan terutama mendengarkan kembali nurani yang mungkin sudah lama mati suri. Melalui sabdaNya  kita bisa membangkitkanya kembali.

Tuhan Yesus Memberkati Bunda Maria melindungi

Paris, Senin dini hari, 12 Oktober 2015

Harga Mendengarkan

Kej. 22:1-2,9a,10-13,15-18; Mzm. 116:10,15,16-17,18-19; Rm. 8:31b-34; Mrk. 9:2-10.

image

Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.”

Berapakah harga yang harus dibayar untuk sungguh-sungguh menjadi seorang pendengar?

Dalam bacaan pertama, Abraham mendengarkan suara Allah untuk kemudian harus naik ke atas gunung, mengorbankan putra tunggalnya, Iskak. Dalam bacaan Injil, identitas Yesus sebagai Putra Bapa, artinya yang selalu mendengarkan dan taat pada kehendak sang Bapa, dinyatakan kembali. Setelah pernyataan ilahi ini, Yesus mengabarkan kepada ketiga muridNya bahwa Ia harus menderita dan wafat untuk kemudian bangkit pada hari ketiga.

Ada yang harus ‘dikorbankan’ untuk sungguh-sungguh mendengarkan. Abraham mendengarkan Allah dan mengorbankan putranya. Yesus mendengarkan Allah Bapa dan mengorbankan hidupNya. Mendengarkan berarti membiarkan diri diubah dan dibarui. Kalau tidak ada perubahan, berarti seseorang belum sungguh-sungguh mendengarkan; ia baru mendengar. Mendengarkan, dengan demikian, dapat menjadi satu bentuk persembahan – korban.

Suara Allah dari balik awan, ” Inilah PutraKu yang Kukasihi. Dengarkanlah Dia, ” akan terus bergema di batin kita yang mendengarkanNya. Pelan namun pasti, hati kita akan diubahNya.

Mendengarkan suara Allah berarti
Membiarkan hati diubah dari tanah bersemak duri
Jadi ladang bagi benih abadi

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Jadilah Sempurna Seperti Bapa

Ul. 26:16-19; Mzm. 119:1-2,4-5,7-8; Mat. 5:43-48.

martin luther

Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Penganiayaan bukanlah sesuatu yang asing bagi jemaat Kristen di mana Matius menulis Injilnya. Penderitaan umat Matius ini, misalnya terekam dalam perikop berikut: Sebab itu, lihatlah, Aku mengutus kepadamu nabi-nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat: separuh di antara mereka akan kamu bunuh dan kamu salibkan, yang lain akan kamu sesah di rumah-rumah ibadatmu dan kamu aniaya dari kota ke kota (Mt 23,34). Situasi penganiayaan yang sama diungkapkan dalam perikop berikut: Apabila mereka menganiaya kamu dalam kota yang satu, larilah ke kota yang lain; karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sebelum kamu selesai mengunjungi kota-kota Israel, Anak Manusia sudah datang (Mt 10:23). Sikap jemaat menanggapi penganiayaan dan penindasan yang mereka alami akan menunjukkan jati diri mereka dan karena itu juga masa depan serta keberlangsungan hidup mereka sebagai komunitas para pengikut Yesus orang Nazaret.

Bagi Matius, jadi murid Yesus dari Nazaret berarti menjalani panggilan untuk menjadi sempurna (teleios) seperti Bapa adalah sempurna. Caranya adalah imitatio Dei, mengikuti Yesus: Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku (Mt 19,21). Menjadi sempurna berarti memenuhi tujuan (teleios) kita sebagai manusia, menjadi manusia secara penuh, menjadi matang dan dewasa . Kebencian dan balas dendam tidak memberikan kepenuhan. Kebencian tidak dapat dipuaskan dengan balas dendam dan balas dendam tidak dapat menyembuhkan luka hati. Seperti setiap dosa, kebencian dan dendam hanyalah sebutan lain untuk “kegelapan,” “kekosongan” atau “ketiadaan.”

Jika Injil hari ini mengajak kita untuk berbuat baik bagi mereka yang menjahati kita dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kita, itu semua karena Yesus dari Nazaret telah melakukannya lebih dahulu sebagai contoh dan teladan bagi kita. Jemaat Matius dan jemaat Gereja Perdana lainnya bukan saja telah mampu bertahan tetapi mereka juga telah mengubah sejarah dunia yang sampai saat itu hanya berpegang pada prinsip mata ganti mata – gigi ganti gigi.

Dendam  dan kebencian tidak menyembuhkan luka

Cinta dan pengampunan mengobatinya

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Merawat Relasi, Mengolah Konflik

Yeh. 18:21-28; Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8; Mat. 5:20-26.

image

Tetapi Aku berkata kepadamu: setiap orang yang marah kepada saudaranya harus dihukum…

Injil hari ini mengundang kita untuk melihat kenyataan bahwa setiap relasi manusiawi tidak pernah bebas dari konflik. Dalam Injil hari ini, kita menjumpai kata-kata yang merujuk pada ketegangan dalam berelasi seperti “membunuh,” “marah,” “memaki,” “lawan,” “pengadilan.”

Namun, Injil tidak hanya berhenti pada diskripsi tentang konflik tetapi mengundang kita untuk menghadapinya secara kristiani.

Pertama, konflik harus dihadapi sejak dini dan jangan dibiarkan menjadi lebih besar dan lebih parah. Ada tradisi dari nenek moyang, jangan membunuh. Tetapi, pembunuhan dapat dicegah bukan hanya dengan larangan melainkan juga dengan mengolah kemarahan yang tak beralasan. Konflik kecil, kalau dibiarkan, dapat tumbuh menjadi besar. Kemarahan tanpa dasar, yang tidak diolah, dapat berkembang menjadi kebencian yang merupakan kutub lawan dari kasih dan sumber semua kejahatan, termasuk pembunuhan. Maka, kepada umat di Efesus, rasul Paulus menulis: jangan berdosa, janganlah matahari terbenam sebelum padam amarahmu, dan jangan memberi kesempatan kepada setan. (Ef. 4, 26-27).

Kedua, pemeriksaan batin, introspeksi diri, pemurnian hati, jauh lebih utama daripada saling menyalahkan. Siapapun yang salah, jangan sampai keluar kata makian atau tudingan yang “melukai hati dan membunuh” karakter pribadi lain.

Ketiga, dengan hati kita berelasi dengan sesama; dengan hati yang sama kita berelasi dengan Tuhan. Jadi, benar sabda Yesus: kalau ada sesuatu di hati saudaramu tentang kamu, letakkan persembahanmu di depan altar dan berdamailah lebih dulu dengan saudaramu. Kita tak mungkin berdamai dengan Allah Bapa tanpa berdamai juga dengan putra-putriNya, sesama manusia. Kemuliaan bagi Allah dan keselamatan manusia tidak dapat dipisahkan.

Manusia dapat bertobat
Karena ia lebih besar dari kesalahan yang pernah dibuat

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi

Tuhan Tahu Memberikan Kebaikan

Est. 4:10a,10c-12,17-19; Mzm. 138:1-2a,2bc-3,7c-8; Mat. 7:7-12.

image

Jadi, jika kamu yang jahat tahu memberikan pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepadaNya.

Adakah perbedaan antara pemberian manusia kepada anak-anaknya dan pemberian Allah kepada mereka yang meminta kepadaNya? Bedanya, sementara manusia memberikan pemberian yang baik, Allah memberikan kebaikan itu sendiri. Satu-satunya alasan mengapa manusia yang jahat ternyata masih mampu memberikan sesuatu yang baik adalah karena Allah menciptakan manusia baik. Allah menjadi sumber kebaikan yang diam di hati manusia. Sejahat-jahatnya manusia, kebaikan itu tetap tinggal di sana. Allah menanamkan cinta dan hatiNya sendiri di dalam lubuk sukma manusia.

Dengan demikian, kita sekarang dapat menarik pesan yang tersembunyi di balik sabda Tuhan ini: mintalah maka kamu akan diberi; carilah maka kamu akan mendapat; ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu. Sabda Tuhan tidak hendak berpesan bahwa semua permintaan, apapun itu, akan dikabulkan. Dalam Injil Matius sendiri, Tuhan Yesus tidak serta merta mengabulkan permintaan ibu Yohanes dan Yakobus yang meminta posisi penting bagi kedua anaknya; demikian juga orang-orang Farisi tidak mendapatkan tanda dari langit yang mereka cari dan minta.

Tuhan mengundang kita untuk percaya bahwa di tengah dunia yang tampaknya dikuasai kejahatan, kebaikan masih ada dan pelan namun pasti akan menang. Mintalah, carilah, dan ketuklah merupakan ungkapan nyata dari kepercayaan dan harapan bahwa kebaikan itu ada dan akan menang. Yang kita minta dan cari adalah tanda kehadiran Sang Maha Baik dalam hidup manusia. Yang kita ketuk adalah pintu setiap hati, termasuk hati kita sendiri, agar terbuka bagi kehadiranNya, bagi tuntunanNya. Kita minta agar kita jadi baik, jadi sempurna, seperti Bapa adalah sempurna.

Untuk itulah Tuhan wafat di Salib: membela yang baik dalam hati manusia. Sekeji apapun perlakuan dunia kepadaNya, dari atas Salib, Yesus tetap memandang dengan mata Allah dan melihat bahwa semuanya itu baik.

He still finds the time to hear a child’s first prayer.
Saint or sinner call and always find Him there.
Though it makes him sad to see the way we live,
He’ll always say, “I forgive.”

Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria melindungi